Apa sebenarnya yang terjadi dengan mata uang emerging market? Apakah pasar saham pernah mengalami kejatuhan? Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari jatuhnya pasar saham? Kita bahas satu-persatu.
Ketika berbicara tentang kejatuhan pasar saham dan dampaknya, kebanyakan orang akan mengingat peristiwa krisis tahun 2008 ketika Lehman Brother mengalami kebangkrutan dan peristiwa Black Monday tahun 1987.
Awal mula terjadinya pelemahan sebagian besar mata uang emerging market
Suku bunga The Fed turun tajam di tahun 2008, The Fed mengambil kebijakan mengeluarkan uang untuk membeli obligasi jangka panjang untuk memberikan stimulus ekonomi dengan memberikan kemudahan pemberian kredit untuk usaha. Sehingga jumlah dolar yang beredar semakin banyak di masyarakat dan lebih luasnya supplay dolar di emerging market juga tinggi. Inilah yang dinamakan dengan Quantitative Easing (QE).
Sementara sejak tahun 2013 The Fed secara bertahap melakukan pengurangan pembelian obligasi jangka panjang. Proses pengurangan pembelian obligasi secara bertahap itulah yang kemudian dikenal dengan istilah Tapering Off. Keinginan The Fed mengurangi stimulus atau Tapering Off telah membuat dana asing yang parkir di emerging market ramai-ramai keluar. Sehingga sebagian besar mata uang di emerging market cenderung melemah terhadap dolar AS di tahun 2013.
Tapering Off di tahun 2013 masih bisa teratasi, karena walaupun The Fed mengurangi stimulus, namun bank sentral AS itu masih mempertahankan tingkat suku bunga rendah. Yang menjadi perhatian utama investor ketika itu adalah suku bunga acuan atau Fed Rate, bukan lagi pembatasan stimulus.
Jika Fed Rate naik, barulah hot money yang selama ini ada di negara berkembang termasuk di Indonesia akan hengkang dan kembali ke negaranya.
Dan akhirnya terjadilah apa yang dikhawatirkan oleh investor, di mana sejak Desember 2015, secara bertahap bank sentral Amerika menaikkan suku bunganya dan lebih parahnya disertai kebijakan proteksionisme pemerintah Amerika yang memicu terjadinya trade war (perang dagang) terhadap sejumlah negara. Fed Fund Rate yang naik dan kebijakan-kebijakan pemerintah AS yang cenderung menutup diri dari kerjasama internasional yang selama ini kurang menguntungkan menyebabkan dolar di emerging market tanpa ragu hengkang kembali ke negara asalnya. Pada akhirnya mayoritas mata uang di emerging market mengalami pelemahan terhadap dolar karena supplay dolar yang menipis seperti yang terjadi saat ini.
Bagaimana dengan Black Monday tahun 1987? Apa analoginya dengan kondisi saat ini?
Kronologi terjadinya Black Monday
19 Oktober 1987 bursa di Wall Street runtuh dalam kurun waktu satu hari. Penyebab keruntuhan menjadi perdebatan. Kejadian ini dikenal sebagai "Black Monday" atau "Senin Hitam".
Sebenarnya pada 1987 indeks Dow Jones mengalami tahun yang baik. Beberapa bulan sebelum Senin Hitam, indeks sahamnya meningkat. Bahkan di bulan Agustus naik 15 persen hingga mencapai 2.700.
Beberapa minggu menjelang keruntuhan, indeks merosot drastis ke kisaran 2.200. "Kehilangan 500 poin menyebabkan laba tahunan yang diperoleh hilang saat Senin Hitam.
Indeks Dow Jones jatuh hingga 22,6 persen hanya dalam sehari. Penurunan ini adalah yang paling drastis dalam sejarah indeks Dow Jones.
"Bagi saya yang orang baru di lantai bursa, rasanya seperti kiamat", cerita pialang Louis Sulsenti. "Saya pikir, ini akhir dari pasar bursa dan perdagangan saham. Kacau sekali, namun masih terorganisir."
Hingga kini masih tidak jelas apa penyebab keruntuhan bursa tersebut. Pakar sejarah keuangan Sylla mengatakan, selain perkembangan keuangan global, teknologi baru yang digunakan juga memainkan peranan. Kejatuhan pasar saham tahun 1987 terjadi dengan latar belakang pengetatan kebijakan moneter oleh Federal Reserve AS. Antara Januari dan Oktober 1987, The Fed menaikkan FFR (Fed Fund Rate) hampir 100 basis poin ke angka 7.25% membuat pinjaman kredit terasa lebih berat dengan bunga tinggi dan harga sahampun mengalami kejatuhan karena dunia usaha lesu.
Pengamanan strategi portfolio seharusnya melindungi pemegang portfolio saham besar dari kerugian yang terlalu besar. Celakanya, sistem akan menjual saham secara otomatis ketika kurs jatuh. Metode yang seharusnya memastikan penjualan berjalan lebih aman, pada akhirnya merugikan para pemilik saham.
Pelajaran dari peristiwa "Black Monday"
Mengutip dari catatan pengalaman pribadi Steven Goldberg yang dimuat di Kiplinger pada 9 Oktober 2017.
"Saya belajar beberapa hal dari peristiwa Senin Hitam. Inilah kunci utama saya dari kecelakaan 1987 dan akibatnya."
"Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di pasar saham. Tidak ada “uang pintar” yang memiliki ide lebih baik daripada Anda atau saya tentang ke mana arah pasar berikutnya. Bersikaplah rendah hati tentang kemampuan Anda untuk memprediksi pergerakan pasar. Saya keliru ketika saya merasa percaya diri dan mengira market timing saya sudah tepat."
Hal yang sama berlaku untuk ekonomi. Resesi adalah bagian dari permainan, begitu juga inflasi. Prediksi adalah tebakan, yang terbaik adalah tebakan terbaik.
"Harapkan apa saja. Pasar saham bisa jatuh hari ini atau besok. Sesuatu seperti apa yang terjadi pada Senin Hitam hampir pasti akan terjadi lagi. Gejolak dan pasar yang kejam adalah bagian dari investasi. Itulah mengapa uang yang tidak Anda relakan untuk hilang bahkan untuk sementara, tidak seharusnya ada di pasar saham. Saya beruntung tetapi bodoh karena berinvestasi saham dengan uang kuliah anak tiri saya."
"Jangan pernah membuat gerakan besar seperti yang saya lakukan sebelum Senin Hitam ketika saya menjual aset saya demi untuk membeli saham. (Tentu saja, saya masih muda dan tidak terlalu banyak berinvestasi). Saya berbicara dengan investor lebih sering daripada yang Anda kira, yang telah keluar dari pasar sejak 2008, dan sedang menunggu kejatuhan pasar saham lain untuk kembali investasi ke saham. Mereka telah mendapatkan keuntungan besar dari peristiwa resesi ekonomi."
Sejarah telah mencatat bahwa pasar saham telah beberapa kali mengalami kejatuhan dan berhasil bangkit lagi. Tidak satu orang pun mengatakan bahwa Anda salah ketika mengurangi kepemilikan saham Anda di saat prospek saham tampak redup atau membeli lebih banyak saham ketika semuanya terlihat bagus. Tetapi memotong (atau menaikkan) alokasi Anda ke saham lebih dari 10% atau 20% mungkin akan menjadi kesalahan. Saham masih merupakan tempat di mana Anda mungkin akan mendapatkan uang paling banyak dalam jangka panjang jika Anda tetap menahannya, dan pasti akan terjadi penurunan selama masa investasi tersebut, sehingga Anda tidak perlu menggunakan uang panas (uang yang dibutuhkan sewaktu-waktu) untuk investasi saham.