Mitratel

Prospek TOWR Pasca Akuisisi SUPR by Stockbit Snips

towr supr opsi 4.png

Penggunaan data internet yang semakin masif membuat kebutuhan akan menara BTS (base transceiver station) meningkat. Sebelum pandemi, rata-rata penggunaan internet untuk keperluan pribadi oleh masyarakat Indonesia adalah 3,6 jam per hari. Angka ini naik menjadi 4,3 jam per hari setelah pandemi. Perusahaan menara berupaya untuk dapat menyerap permintaan ini dengan ekspansi bisnis secara agresif, salah satunya via akuisisi menara BTS.

Sarana Menara Nusantara (TOWR) dan Solusi Tunas Pratama (SUPR) adalah perusahaan penyedia infrastruktur telekomunikasi. Bisnis utama kedua perusahaan adalah penyewaan menara BTS (tower) dan jaringan fiber optic.

Per kuartal II 2021, TOWR merupakan salah satu portofolio dari konglomerasi Grup Djarum, dengan kepemilikan atas 52,14% saham TOWR. Mereka dikabarkan telah menyelesaikan akuisisi terhadap 94,03% saham SUPR dengan nilai transaksi mencapai Rp16,73 triliun (~1,2 miliar USD). TOWR tentu berharap transaksi ini berdampak positif terhadap bisnis, dan artikel ini akan coba menilik perubahan yang terjadi dari segi competitive landscape dan juga operasional.


1. Memperbanyak jumlah menara

Per Q2 2021, TOWR tercatat memiliki 21.575 menara BTS. Sementara, pesaing terdekatnya yang juga merupakan perusahaan publik, TBIG, memiliki 19.709 menara. BTS Mitratel (anak usaha Telkom Indonesia yang akan segera IPO) sedikit lebih banyak dengan 23.232 menara.

Setelah akuisisi ini berhasil, TOWR akan ketambahan 6.422 menara milik SUPR, sehingga menara yang dimiliki menjadi 27.997 unit. Mitratel juga baru saja membeli 4.000 unit tower milik Telkomsel, sehingga total menara menjadi 28.030 unit, unggul tipis dari TOWR.

2. Akuisisi tenant masif

Mengakuisisi menara milik SUPR berarti juga mengakuisisi tenant yang terikat kontrak jangka panjang dengan menara tersebut. Sehingga TOWR akan ketambahan 12.145 tenant baru dari SUPR, dan membuat total tenant TOWR menjadi 51.939. Angka ini semakin menjauhi TBIG (37.232 tenant) dan Mitratel (42.016 tenant).

Tenant biasanya menyewa jasa menara BTS dalam jangka panjang (10+ tahun), ini memberikan stabilitas pendapatan bagi perusahaan menara.

Rencana ekspansi emiten BTS perlu mempertimbangkan ekspansi kliennya, yaitu operator telco. Sedangkan operator akan melakukan ekspansi ke/di wilayah dengan masyarakat yang dinilai berpotensi untuk menggunakan layanannya.
Pada tahun 2015, hanya sekitar 29% masyarakat yang menggunakan smartphone. Tingkat penetrasi ini naik menjadi 76% di 2021, dan diproyeksikan akan tumbuh hingga 89% di 2025.

3. Upaya memenangkan area Jawa-Bali

TOWR akan mengalami penambahan menara dalam jumlah yang cukup besar, namun sebetulnya TOWR dan SUPR memiliki basis lokasi yang relatif mirip. Sekitar 60% menara keduanya berlokasi di area Jawa-Bali-Nusra, 24% di Sumatera, sisanya tersebar di wilayah Indonesia lainnya.

Daerah tersebut merupakan bagian Indonesia paling padat, serta memiliki pertumbuhan penetrasi smartphone yang cukup agresif. Menjadi menarik karena tentunya operator telco ingin memperkuat layanannya di β€œfront tempur” ini. Ini berpotensi membawa keuntungan bagi TOWR yang baru saja memperkuat pengaruhnya di area tersebut.

Menara TBIG pun cukup terkonsentrasi di area yang sama. Namun, ini sedikit berbeda dari Mitratel yang menaranya relatif tersebar, Mitratel yang merupakan anak usaha BUMN memiliiki misi sebagai agen pemerataan pembangunan.

4. Efisiensi melalui kolokasi

Salah satu bentuk efisiensi operasional penting bagi emiten menara adalah metode colocation, alias melayani lebih dari satu operator dalam satu unit menara BTS. Strategi efisiensi ini dapat diperoleh dengan mengombinasikan jumlah menara dengan lokasi yang strategis, di mana terdapat banyak operator telco yang tertarik untuk memperkuat layanan di daerah tersebut. Perusahaan dapat memperoleh lebih banyak pendapatan sambil menahan pertumbuhan biaya operasional. 

Di Q2 2021, rasio kolokasi TOWR adalah 1,86x, sedangkan SUPR 1,94x. Setelah akuisisi, capaian TOWR berpotensi meningkat tipis ke 1,87x. Meski demikian, angka ini masih tertinggal dari TBIG yang memiliki colocation rate sebesar 1,89x.

Rasio kolokasi yang tinggi dapat menjadi indikasi awal bahwa perusahaan menara dapat memanfaatkan aset menaranya secara lebih efisien.

5. Biaya transaksi

Akuisisi 94,03% saham SUPR senilai Rp16,73 triliun oleh TOWR praktis membuat semua 6.422 unit menara terkonsolidasi ke TOWR. Artinya, TOWR mengeluarkan ~Rp2,6 miliar untuk akuisisi setiap satu menara. Angka ini relatif mahal dibandingkan biaya sejumlah transaksi menara yang baru saja dilakukan oleh perusahaan lain:

  • EDGE terhadap CENT: Rp1,6 miliar/menara. Skema transaksi: akuisisi saham

  • TBIG terhadap IBST: Rp1,33 miliar/menara. Skema transaksi: pembelian aset

  • Mitratel terhadap Telkomsel: Rp1,25 miliar/menara. Skema transaksi: pembelian aset

Key Takeaways:

Perang di telco masih akan ketat, didorong kebutuhan data yang makin tinggi. TOWR menyadari ini dan berusaha tetap kompetitif dengan mengakuisisi SUPR, terlebih dua pesaing terdekatnya juga melakukan aksi sejenis di tahun ini. Tapi, dibanding kompetitor, harga akuisisi ini lebih tinggi per unit menaranya, sehingga TOWR butuh upaya lebih besar untuk memastikan pembelian menaranya berdampak positif terhadap keuangan perusahaan.

Disclaimer: Semua konten dibuat untuk tujuan informasional dan bukan merupakan rekomendasi untuk membeli/menjual saham tertentu. Always do your own research.