Dalam investasi saham dikenal istilah saham overvalued atau saham yang harganya dijual di atas nilai intrinsiknya. Overvalued saham biasanya jarang dilirik oleh investor karena dianggap memiliki harga yang mahal.
Lalu, bagaimana cara mengetahui suatu saham sudah overvalued atau tidak? Serta apakah betul saham yang overvalued sudah tidak layak dibeli?
Temukan jawabannya di sini!
Cara Mengetahui Saham Overvalued
Saham overvalued adalah saham yang memiliki harga pasar melebihi nilai intrinsiknya atau nilai wajar dari saham tersebut.
Maka, untuk mengetahui apakah suatu saham overvalued, pertama-tama kita perlu menghitung dulu berapa nilai intrinsik dari saham tersebut.
Ada banyak metode perhitungan nilai intrinsik saham yang bisa digunakan, sehingga nilai intrinsik saham yang dihitung tiap investor bisa saja menunjukkan hasil yang berbeda. Yang paling sering dipakai investor umumnya adalah metode analisis DCF (Discounted Cash Flow), valuasi relatif PER (Price Earning Ratio), dan metode penilaian berbasis aset.
1. Analisis DCF
Ini merupakan metode yang paling sering dipakai untuk menghitung nilai intrinsik saham karena dianggap paling efektif dan tepat secara teoretikal. Rumusnya:
Dimana:
CF = Cash flow; CF1 artinya estimasi cash flow di tahun pertama, CF2 estimasi cash flow di tahun kedua, dan seterusnya
r = Discount rate, biasanya menggunakan WACC (weighted average cost of capital)
n = Periode ke-n
Dari rumus tersebut, investor nantinya akan memperoleh nilai estimasi Future Cash Flow yang sudah terdiskon (DCF) dari suatu emiten hingga tahun ke-n.
Setelah itu, investor dapat menggunakan nilai DCF yang diperoleh tadi untuk menghitung nilai ekuitas (equity value) “intrinsik’ emiten dengan cara menjumlahkan DCF dengan total kas yang dimiliki emiten lalu dikurangi dengan total utang. Begini rumusnya:
Nilai Ekuitas Intrinsik = DCF + Total kas/ekuivalen – Total utang
Kemudian, dari sini, kamu bisa mendapatkan harga wajar suatu saham dengan cara membagi nilai ekuitas intrinsik di atas dengan jumlah saham beredar saat ini.
Apabila hasilnya melebihi harga saham yang diperdagangkan di pasar sekarang, berarti sahamnya sudah overvalued. Begitu pun sebaliknya, jika hasil yang diperoleh ternyata kurang dari harga saham yang diperdagangkan saat ini, berarti saham tersebut masih undervalued.
DCF sendiri memerlukan asumsi / perkiraan dari nilai yang akan dipakai, misalnya CF. Kita perlu melakukan prediksi dengan beberapa asumsi untuk menggunakan DCF, sehingga bisa saja nilai intrinsik yang didapat oleh satu investor, berbeda dengan investor lain karena perbedaan asumsi yang digunakan. Oleh karena itu, biasanya valuasi DCF digunakan oleh analis, dan agak jarang digunakan oleh investor retail pada umumnya.
2. Valuasi relatif PER
Berikutnya, cara kedua yang biasa dipakai investor dalam menghitung nilai intrinsik saham adalah metode valuasi relatif PER. Rumusnya:
Dimana:
EPS = Earning per Share, diperoleh dari membagi nilai laba bersih dengan jumlah saham beredar
PER = Price Earning Ratio, diperoleh dari membagi harga saham saat ini dengan nilai EPS (laba per saham)
r = Asumsi pertumbuhan EPS dalam persentase
Sebagai contoh, katakan saham ABCD memiliki nilai laba per saham Rp250 dalam satu tahun terakhir. Dengan asumsi bahwa perusahaan dapat meningkatkan EPS-nya sekitar 8% dalam 5 tahun ke depan dan nilai PER perusahaan saat ini sebesar 21.5, maka dengan menggunakan rumus di atas,
Nilai intrinsik ABCD -> (Rp250) x (1 + 0.08) x 21.5 = Rp5.805
Kita bisa memperoleh bahwa harga wajar saham ABCD adalah Rp5.805 per lembar saham. Apabila harga saham saat ini melebihi nilai tersebut, berarti saham ABCD sudah tergolong overvalued saham dan begitu pula sebaliknya.
Valuasi PER juga memiliki banyak asumsi, misalnya adalah nilai PER yang dianggap ‘fair’. Bisa saja satu investor menganggap PER 21x adalah wajar, namun investor lain menganggap PER 15x adalah wajar. Selain itu, ada juga asumsi pertumbuhan yang dapat menjadikan nilai intrinsik yang didapat tiap investor berbeda.
3. Penilaian berbasis aset
Terakhir, kamu juga bisa menghitung nilai intrinsik saham dengan memakai metode penilaian berbasis aset. Caranya yaitu dengan mengurangi total aset perusahaan dengan total liabilitas perusahaan.
Penilaian valuasi berbasis aset menggunakan cara ini, juga biasa dikenal dengan Book Value atau PBV.
Sebagai contoh, katakan perusahaan ABCD tadi memiliki total aset perusahaan sebesar Rp100 miliar dan liabilitas sebesar Rp50 miliar. Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa nilai intrinsik dari perusahaan ABCD adalah Rp50 miliar.
Apabila ingin mengetahui harga saham wajar ABCD, maka kita tinggal membagi saja Rp50 miliar tadi dengan total jumlah saham beredarnya. Andaikan ABCD memiliki 25 juta saham beredar, maka harga wajar saham ABCD adalah Rp2.000 per lembar saham.
Dibandingkan metode lain, menghitung nilai intrinsik saham dengan pendekatan ini jelas jauh lebih mudah. Sayangnya, terdapat kekurangan dari metode ini yaitu penilaian tidak memperhitungkan prospek pertumbuhan perusahaan di masa depan.
Sehingga acapkali nilai intrinsik saham yang dihasilkan lewat metode ini lebih rendah daripada nilai intrinsik saham yang diperoleh lewat metode perhitungan lain.
Ciri-ciri saham overvalued
Tanpa menghitung nilai intrinsik saham, sebetulnya kita juga bisa mengetahui saham overvalued dengan mengidentifikasi ciri-cirinya. Umumnya, saham yang sudah overvalued memiliki ciri-ciri di bawah ini, antara lain:
Saham memiliki nilai PER (Price/Earning Ratio) yang lebih tinggi daripada rata-rata nilai PER saham tersebut secara historis
Saham mempunyai nilai PER yang lebih tinggi daripada rata-rata PER saham di industrinya
Rasio Price/Earning Growth (PEG) saham lebih dari 1 atau lebih tinggi daripada rata-rata PEG saham di industrinya
Rasio Price to Book Value (PBV) saham lebih tinggi daripada rata-rata PBV saham di industri sejenis
Dividen yield saham berada di rentang terendah dibandingkan rata-rata dividen yield saham tersebut secara historis
Overvalued saham: layak dibeli atau tidak?
Meskipun harganya mahal, overvalued saham belum tentu tidak layak untuk investasi. Banyak kok kasus dimana saham yang sudah overvalue justru bisa terus menunjukkan kinerja yang baik dan harganya meningkat dari waktu ke waktu.
Begitu pun sebaliknya, tidak sedikit kasus dimana saham-saham undervalued, alih-alih naik harganya, malah mengalami penurunan harga yang terus-menerus sampai memaksa investor melakukan cut loss dan menyebabkan kerugian.
Keputusan membeli saham seharusnya tidak boleh hanya didasari pada apakah saham tersebut masih undervalue atau sudah overvalued. Sebaliknya, cobalah untuk melihat nilai perusahaan tersebut secara menyeluruh, termasuk potensi pertumbuhannya di masa depan, sebelum memutuskan untuk berinvestasi.
Lakukan juga analisis saham secara fundamental dan teknikal agar kamu tahu kapan waktu yang tepat untuk membeli dan menjual saham tersebut untuk memperoleh keuntungan.
Gunakan aplikasi Stockbit untuk screening saham unggulan dengan mudah berdasarkan kriteria fundamental/teknikal yang kamu inginkan. Download aplikasi Stockbit dan mulai perjalanan investasimu sekarang juga!