Sell In May and Go Away: Mitos atau Strategi Investasi yang Sudah Teruji Waktu? / by Guest User

Sebagai investor saham, kamu pasti pernah mendengar istilah Sell in May and Go away. Istilah ini merujuk pada sebuah strategi investasi saham yang menyarankan investor untuk menjual sahamnya di bulan Mei lalu membeli kembali saat akhir tahun. 

Kondisi ini dikenal sebagai anomali saham musiman seperti halnya Jannuary Effect, Black September dan Window Dressing.

Bukan tanpa alasan, strategi sell in may muncul karena ditemukannya pola historis yang menunjukkan bahwa harga saham cenderung berkinerja buruk selama periode Mei hingga Oktober. Sehingga investor lebih disarankan untuk tidak berinvestasi saham selama periode enam bulan tersebut 

Namun, apakah teori tersebut valid atau justru cuma mitos belaka? Untuk mengetahuinya, simak artikel berikut ini yang akan menjelaskan secara lengkap tentang pengertian, sejarah, dan seberapa besar pengaruh strategi Sell in May and Go Away di pasar saham Indonesia.

Pengertian dan Sejarah Sell In May and Go Away

"Sell in May and go away" adalah sebuah strategi investasi saham yang menyarankan investor untuk menjual saham mereka pada bulan Mei dan membeli kembali pada bulan November. 

Istilah tersebut awalnya berasal dari sebuah pepatah kuno di Inggris yang berbunyi: “Sell in May and go away, and come back on St. Leger’s Day”. Pepatah yang biasa dilontarkan di antara para pedagang, bangsawan, dan bankir di kota London ini sebetulnya merujuk pada kebiasaan mereka yang suka meninggalkan kota selama berbulan-bulan sepanjang musim panas untuk kemudian kembali pada pertengahan September untuk menonton gelaran pacuan kuda, St. Leger’s Day, di arena balap Doncaster, South Yorkshire.

Kebiasaan orang Inggris tersebut ternyata juga mirip seperti yang ditemukan di Amerika Serikat. Ketika memasuki bulan Mei, para trader dan investor di Amerika cenderung memilih menghabiskan waktunya untuk liburan musim panas yang biasanya berlangsung antara bulan Mei hingga Oktober.  

Kebiasaan yang dilakukan oleh pelaku pasar tersebut pada akhirnya memiliki dampak riil pada kinerja pasar modal di Amerika Serikat selama lebih dari setengah abad. Hal ini dibuktikan lewat kinerja historis saham yang buruk selama periode enam bulan dari Mei hingga Oktober. 

Akibat dari pepatah tersebut, akhirnya sekarang banyak investor saham yang terbiasa melakukan profit taking bahkan menjual seluruh sahamnya di bursa ketika memasuki bulan Mei untuk kemudian dialihkan ke instrumen investasi lain seperti obligasi atau reksadana demi menghindari sentimen negatif Sell in May and go away.

Seberapa akurat pengaruh ‘Sell in may and go away’ di Indonesia?

Meskipun fenomena sell in may and go away berasal dari luar negeri, tapi dampaknya juga seringkali dapat berimbas pada bursa saham di Indonesia. Pertanyaannya adalah seberapa besar pengaruh sentimen sell in may terhadap kinerja pasar saham Indonesia?

Untuk mengetahui jawabannya, kita perlu mengecek terlebih dulu bagaimana kinerja historis IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) selama periode Mei - Oktober dalam beberapa tahun belakangan. 

Setelah itu, kita dapat membandingkan jumlah periode dimana IHSG terbukti berkinerja buruk terhadap jumlah periode data keseluruhan untuk mengetahui seberapa akurat pengaruh sentimen sell in may and go away terhadap kinerja IHSG.

Pada contoh ini, kami menggunakan data kinerja bulanan IHSG selama 20 tahun terakhir (2002 - 2021). Data ini menggunakan fitur Seasonality dari Stockbit.

Fitur Seasonality Stockbit

Setelah mengolah data di atas, kami mendapatkan hasil bahwa selama 20 tahun terakhir, ternyata hanya ada 7 kali saja dimana IHSG berkinerja buruk pada periode Mei - Oktober. Sisanya sebanyak 13 kali IHSG justru mampu membukukan kinerja positif, bahkan pada beberapa periode IHSG sempat menorehkan kinerja yang cukup impresif dengan tingkat pengembalian mencapai lebih dari 30%. (cek tabel di bawah).

return ihsg mei oktober

Jika dihitung secara persentase, diperoleh tingkat akurasi “Sell in May and Go Away” di pasar saham Indonesia adalah sebesar 35%. Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan bahwa sentimen Sell in May and Go Away tidak begitu berpengaruh signifikan terhadap kinerja IHSG.

Sebagai investor, penting untuk melakukan penelitian dan mengambil keputusan investasi yang tepat berdasarkan fakta dan bukan hanya dengan mengandalkan teori populer yang beredar di kalangan investor seperti Sell in May and Go away

Meskipun teori tersebut tetap ada benarnya sebagaimana yang ditemukan pada data statistik di atas, namun sebagai investor sebaiknya tetap lakukan penelitian dan analisis terlebih dahulu untuk menentukan apakah strategi ini cocok diterapkan pada kondisi pasar saat ini dan sesuai dengan kebutuhan sendiri.