ITMG

πŸ”₯ Indo Coal: Profiting from Market Pessimism by Edi Chandren & Hendriko Gani

Penulis: Edi Chandren, Hendriko Gani | Editor: Aulia Rahman Nugraha, Vivi Handoyo Lie, Rahmanto Tyas Raharja

Published date: 22/7/2024

  • Dengan asumsi harga batu bara di US$118–126/ton pada 2024–2025 (YTD: US$132/ton), kami menilai market terlalu pesimis terhadap prospek sektor batu bara.

  • Dengan net cash berlimpah, implied P/E ADRO dan ITMG hanya 3–4x. Kami menilai P/E 5x (di luar net cash) sebagai valuasi yang wajar, memberikan upside +28–50%.

  • Short-medium term: Penurunan permintaan akan diimbangi penurunan produksi, memberikan resiliensi bagi harga batu bara.

  • Longer term: Peningkatan kebutuhan listrik dari EV, data center, dan AI terjadi di tengah perlambatan transisi EBT, sehingga memperpanjang relevansi batu bara.

Deskripsi: Estimasi harga batu bara Stockbit dan konsensus.
Sumber: Bloomberg, Analisis Stockbit

Executive Summary

Market terlalu pesimis terhadap sektor batu bara – Setelah normalisasi harga batu bara dari level tertingginya pada 2022, market terlihat tidak tertarik dengan sektor batu bara, yang tercermin dari ekspektasi penurunan laba bersih signifikan (2024: turun 14–30%, 2025: turun 9–25%) dan rating emiten saham ADRO, ITMG, dan PTBA yang cenderung β€˜Netral’. Menurut kami, penilaian konsensus ini terlalu pesimis. Dengan pandangan kami yang lebih positif, kami menilai sektor ini dapat memberikan peluang bagi investor.

Where are we different? – Kami memprediksi harga batu bara akan cenderung resilient dan bertahan di kisaran US$130–135/ton pada 2024–2025 (vs. YTD: US$132/ton), sementara estimasi kinerja konsensus merefleksikan proyeksi harga batu bara di kisaran US$118–126/ton. Hal ini mengimplikasikan bahwa konsensus berekspektasi harga batu bara akan melemah ke depannya. Dengan pandangan yang lebih optimis, kami memperkirakan estimasi laba bersih yang lebih tinggi +5–30% dibanding konsensus.

Coal-for-longer – Tesis kami bahwa harga batu bara akan cenderung resilient didasarkan oleh analisis IEA yang memproyeksikan bahwa penurunan permintaan (2023–2026 CAGR: -0,8%) akan diimbangi penurunan produksi (2023–2026 CAGR: -1,3%). Dalam jangka yang lebih panjang, potensi peningkatan kebutuhan listrik dari kendaraan listrik (EV), data center, dan AI di tengah perlambatan transisi energi ke EBT akan memperpanjang relevansi batu bara dibandingkan perkiraan sebelumnya.

Net cash yang besar: Positif bagi aspek valuasi dan dividen – Setelah menikmati windfall profit dari supercycle batu bara pada 2022–2023, posisi keuangan para emiten batu bara menjadi jauh lebih kuat. Jika memperhitungkan net cash-nya yang melimpah, valuasi emiten batu bara saat ini sangat murah, dengan 1-Year Forward P/E (Stockbit) ADRO/ITMG/PTBA sebesar 3,6x/2,6x/4,7x. Kami menilai P/E sebesar 5x – di luar net cash – sebagai valuasi yang wajar, yang mana memberikan upside +28–50%. Net cash yang besar juga meningkatkan kepastian bahwa dividend payout ratio bisa terus dipertahankan di level yang tinggi, sehingga dividend yield minimum dapat mencapai 10%. Valuasi yang rendah dan dividen yang cukup besar ini membatasi risiko investasi.

Top picks dan risiko – ADRO menjadi preferensi kami secara overall karena berpotensi menerima inflow terbesar jika market menjadi lebih positif terhadap sektor batu bara. PTBA paling unggul dari aspek dividen, sementara ITMG memiliki sensitivitas laba bersih tertinggi terhadap harga batu bara. Risiko utama dari tesis kami adalah pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah pada market utama batu bara, sehingga dapat menyebabkan harga batu bara yang lebih rendah dibandingkan prediksi kami.


Mispricing Akibat Ekspektasi Market yang Terlalu Pesimis

Saat ini, kami menilai bahwa ekspektasi konsensus terhadap sektor batu bara terlalu pesimistis, yang tercermin dari estimasi kinerja dan rating analis. Menurut kami, pesimisme ini dapat memberikan peluang bagi investor. 

Dari aspek kinerja, konsensus mengestimasikan laba bersih ADRO, ITMG, dan PTBA akan turun sekitar 14–30% pada 2024, diikuti dengan penurunan laba bersih sekitar 9–25% pada 2025. Meski kami sependapat bahwa normalisasi kinerja dari supercycle pada 2022–2023 akan berlanjut, kami memperkirakan bahwa penurunan laba bersih ketiga saham tersebut tidak akan sedalam yang diekspektasikan oleh konsensus

Kami sendiri mengestimasikan laba bersih yang lebih tinggi sekitar +5–30% dibandingkan estimasi konsensus, dengan asumsi utama bahwa harga batu bara akan lebih resilient dibandingkan dengan apa yang diimplikasikan oleh ekspektasi konsensus. 

Kami memperkirakan bahwa harga rata-rata batu bara Newcastle akan berada di kisaran US$135/ton pada 2024 dan US$130/ton pada 2025. Perkiraan kami tersebut lebih tinggi dibandingkan harga batu bara yang diimplikasikan oleh estimasi kinerja dari konsensus, yang berada di level US$126/ton pada 2024 dan US$118/ton pada 2025.

Deskripsi: Perbandingan estimasi kinerja ADRO, ITMG, dan PTBA dari Stockbit dan konsensus.
Sumber: Analisis Stockbit, Bloomberg 

Pandangan bearish konsensus terhadap sektor batu bara juga terefleksi pada rating emiten batu bara. Per 19 Juli 2024, hanya ADRO yang memiliki net rating β€˜BUY’, itu pun dengan jumlah rating β€˜HOLD + SELL’ yang hampir mirip dengan jumlah rating β€˜BUY’. Sementara itu, ITMG dan PTBA memiliki rating β€˜HOLD’. 

Deskripsi: Rating konsensus untuk ADRO, ITMG, dan PTBA.
Sumber: Bloomberg

Prospek Harga Batu Bara: Tidak Seburuk yang Diperkirakan Market

Seperti yang telah disebutkan di atas, kami menilai prospek harga batu bara tidak akan sesuram yang diimplikasikan oleh estimasi konsensus. Meski normalisasi harga batu bara dari supercycle pada 2022–2023 akan berlanjut, kami memprediksi bahwa harga akan cenderung resilient dengan penurunan yang gradual. Asumsi harga batu bara kami adalah US$135/ton untuk 2024 dan US$130/ton untuk 2025.

Deskripsi: Estimasi harga batu bara Stockbit dan konsensus. 
Sumber: Bloomberg, Analisis Stockbit

Berikut beberapa faktor di balik pandangan kami yang lebih optimis dibanding market terhadap prospek batu bara ke depan.

Jangka Pendek–Menengah

Penurunan Permintaan Akan Dibarengi dengan Penurunan Suplai yang Sebanding

Tidak ada yang menyangkal bahwa permintaan batu bara ke depan akan semakin berkurang seiring tren transisi energi menuju EBT. Namun, hanya sedikit yang membahas bahwa produksi batu bara pun juga akan turun ke depannya.

Berdasarkan proyeksi dari International Energy Agency (IEA) pada Desember 2023, konsumsi batu bara diestimasikan akan menurun dengan CAGR -0,8% pada 2023–2026. Pada periode yang sama, produksi batu bara diprediksi akan turun dengan CAGR -1,3%

Meski konsumsi batu bara akan turun ke depannya, IEA memproyeksikan bahwa levelnya masih akan tetap tinggi, didorong oleh meningkatnya permintaan pada negara-negara berkembang seperti India dan Asia Tenggara guna mendukung pertumbuhan ekonomi mereka yang relatif kencang. 

Peningkatan permintaan dari negara-negara berkembang tersebut akan mengkompensasi penurunan permintaan dari negara-negara maju, seperti AS dan Eropa. Konsumsi China pun diprediksi akan menurun hingga 2026, kendati prediksi ini mengandung banyak ketidakpastian akibat perubahan struktural yang sedang dihadapi negara tersebut.

Deskripsi: Perubahan konsumsi batu bara berdasarkan negara/benua (dalam juta ton).
Sumber: IEA
Deskripsi: Total konsumsi batu bara global 2022–2026F (dalam juta ton).
Sumber: IEA
Deskripsi: Total konsumsi batu bara termal dan lignite global pada 2022–2026F (dalam juta ton).
Sumber: IEA

Dari sisi suplai, produksi batu bara dari negara-negara produsen utama – seperti China, Indonesia, Australia, dan Rusia – terlihat telah mencapai puncaknya pada 2023. IEA memprediksi bahwa negara-negara tersebut akan mengalami penurunan produksi batu bara ke depan, seiring dengan penurunan permintaan. Hanya India satu-satunya negara produsen batu bara yang masih diproyeksikan mengalami kenaikan produksi. 

Bagi Indonesia sendiri, proyeksi penurunan produksi batu bara juga terefleksi pada total tonase yang disetujui dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2024–2026:

  • 2024: 922,14 juta ton

  • 2025: 917,16 juta ton (-0,5%)

  • 2026: 902,97 juta ton (-1,5%)

Deskripsi: Total produksi batu bara global 2022–2026F (dalam juta ton).
Sumber: IEA
Deskripsi: Total produksi batu bara termal dan lignite global 2022–2026F (dalam juta ton).                                                                          Sumber: IEA

Jangka Menengah–Panjang

Melihat lebih jauh ke depan, terdapat beberapa tema besar yang secara tidak langsung akan berdampak terhadap prospek batu bara. Tren kendaraan listrik (EV), data center, dan artificial intelligence (AI) diprediksi akan menciptakan kebutuhan listrik baru secara signifikan hingga ~2.000 TWh pada 2030. Sebagai perbandingan, jumlah tersebut setara dengan ~7x lipat total konsumsi listrik Indonesia atau ~2x lipat total konsumsi listrik Jepang pada 2023. 

Di sisi lain, perlambatan transisi energi ke EBT belakangan ini membuat kami menilai bahwa batu bara akan memiliki relevansi yang lebih panjang dibandingkan perkiraan sebelumnya.


Aspek Permintaan: Peningkatan Kebutuhan Listrik dari EV, Data Center, dan AI

  • Kendaraan Listrik (EV)
    Tren peralihan kendaraan dari internal combustion engine (ICE) ke kendaraan listrik (EV) diprediksi akan meningkatkan konsumsi listrik secara masif untuk kebutuhan pengisian daya (charging). 

Pada 2023, konsumsi listrik dari EV secara global tercatat sekitar 130 TWh. Angka tersebut diproyeksikan akan melonjak ke level 1.000 TWh pada 2030 dan 2.200 TWh pada 2035, dalam skenario yang paling konservatif (STEPS), menurut IEA. Sementara itu, dalam skenario paling agresif (NZE), konsumsi listrik dari EV diprediksi mencapai lebih dari 1.500 TWh pada 2030 dan lebih dari 3.500 TWh pada 2035.

Sebagai konteks, konsumsi listrik dari EV pada 2023 hanya setara 0,5% dari total konsumsi listrik. Dalam skenario STEPS, kontribusi konsumsi listrik dari EV pada 2035 akan setara dengan ~8% dari total konsumsi listrik global.

Deskripsi: Proyeksi konsumsi listrik dari kendaraan listrik. Catatan mengenai skenario: 1) STEPS merupakan skenario yang merefleksikan kebijakan/peraturan yang telah diumumkan hingga saat ini (kondisi hari ini); 2) APS merupakan skenario di mana seluruh negara mengimplementasikan target mereka secara penuh dan sesuai jadwal; dan 3) NZE merupakan skenario terbaik dan paling ideal, di mana target net zero emission tercapai pada 2050.                                              Sumber: IEA
  • Data Center dan Artificial Intelligence (AI)

Selain EV, tema besar lainnya yang diprediksi akan meningkatkan konsumsi listrik secara signifikan adalah perkembangan data center dan penerapan AI. Akselerasi konsumsi listrik ini akan didorong oleh dua faktor utama, yakni 1) melambatnya kenaikan efisiensi daya (power efficiency gains) pada operasional data center; dan 2) meluasnya dan meningkatnya penerapan AI. Sebagai ilustrasi, rata-rata konsumsi listrik untuk memproses suatu query ChatGPT mencapai 2,9 watt-hours, atau hampir 10x lipat lebih besar dibandingkan rata-rata energi yang dibutuhkan untuk memproses suatu query pencarian Google (0,3 watt-hours), menurut IEA.

IEA dan Goldman Sachs mencatat bahwa konsumsi listrik dari data center dan AI saat ini hanya berkisar 400–500 TWh. Angka tersebut diprediksi akan meningkat menjadi sekitar 2x lipatnya, yakni 800–1.000 TWh, meski IEA dan Goldman Sachs memiliki perbedaan proyeksi terkait tahun pencapaiannya. IEA memprediksi angka peningkatan tersebut akan tercapai pada 2026, sementara Goldman Sachs pada 2030. Perbedaan proyeksi di antara keduanya disebabkan oleh keberadaan variabel cryptocurrency dalam perhitungan IEA, sementara Goldman Sachs tidak memasukkan variabel tersebut.

Angka proyeksi konsumsi sekitar 1.000 TWh akan membuat konsumsi listrik dari data center dan AI setara dengan konsumsi listrik dari EV nantinya. 

Deskripsi: Proyeksi konsumsi listrik dari data center dan AI.
Sumber: Goldman Sachs
Deskripsi: Proyeksi konsumsi listrik dari data center, AI, dan cryptocurrency.
Sumber: IEA

Aspek Suplai: Tantangan Akselerasi EBT dari Era Suku Bunga Tinggi

Dengan kondisi suku bunga yang tinggi, proses transisi energi menuju EBT berpotensi melambat karena investasi pada proyek-proyek EBT akan menjadi lebih mahal. Proyek-proyek EBT sendiri cenderung padat modal (capital intensive), sehingga membutuhkan pendanaan (capex) yang besar di awal dan akan lebih sensitif terhadap suku bunga.

Deskripsi: Perbandingan kepadatan modal (capital intensity) beberapa sumber pembangkit tenaga listrik.
Sumber: Wood Mackenzie

Meski suku bunga diekspektasikan telah mencapai puncaknya dan akan mulai dipangkas, Wood Mackenzie memperkirakan bahwa pemangkasan suku bunga yang akan dilakukan tidak akan terlalu signifikan dan tampaknya sulit untuk kembali ke level serendah periode pra-pandemi. Menurut Wood Mackenzie, hal tersebut disebabkan oleh kondisi inflasi saat ini yang secara struktural lebih tinggi dibandingkan dulu, utamanya akibat tren de-globalisasi. Akibatnya, suku bunga perlu dipertahankan di level yang lebih tinggi untuk menjaga tekanan inflasi. 

Deskripsi: Suku bunga riil AS, Eropa, dan China.
Sumber: Wood Mackenzie, FRED, Facset

Tren perlambatan transisi energi menuju EBT sendiri telah mulai dirasakan, tercermin dari momentum progres Indeks Transisi Energi (Energy Transition Index/ETI) yang menurun sejak 2023, berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF)

Menurut WEF, inflasi dan suku bunga yang tinggi secara bersamaan menjadi tantangan yang signifikan untuk berinvestasi pada solusi energi yang sustainable, terutama pada negara-negara emerging dan developing. Selain itu, disrupsi energi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir meningkatkan tekanan bagi pemerintah untuk memprioritaskan keamanan energi (energy security), yang seringkali mengkompensasi upaya transisi. 

Deskripsi: Indeks Transisi Energi (CAGR 3-tahun).
Sumber: World Economic Forum

Melihat dari aspek lain, progres pemenuhan target EBT dari COP28 pun hingga saat ini masih membutuhkan upaya yang lebih keras, meski sudah berada pada jalurnya. Menurut IEA, dengan kondisi market dan kebijakan existing saat ini, kapasitas EBT global pada 2030 diproyeksikan hanya meningkat 2,5x dari level saat ini ke level 7.900 GW, lebih rendah dari target peningkatan sebesar 3x lipat ke level 11.000 GW.

Deskripsi: Proyeksi kapasitas EBT global.
Sumber: IEA

Top picks

Dengan pandangan positif yang kami miliki terhadap sektor batu bara, berikut adalah saham preferensi kami: 

  • Overall pick: ADRO – Sebagai emiten terbesar dan paling liquid di antara ketiganya, kami menilai ADRO akan menerima inflow yang paling besar jika pandangan market menjadi lebih positif terhadap sektor batu bara, yang merupakan base case skenario kami. Selain itu, berdasarkan data historis, ADRO cenderung memiliki sensitivitas harga saham paling tinggi terhadap pergerakan harga batu bara dibandingkan yang lainnya.

  • Dividend: PTBA – Emiten ini kami prediksi akan terus memiliki dividend payout ratio terbesar dibandingkan yang lainnya dalam beberapa tahun ke depan, sehingga menawarkan potensi dividend yield tertinggi. Dengan asumsi dividend payout ratio sebesar 75% berdasarkan estimasi kami, maka dividend yield PTBA untuk 2024 dan 2025 mencapai 14,6%.

  • Sensitivitas laba bersih: ITMG – Dari aspek kinerja, ITMG merupakan emiten dengan sensitivitas laba bersih tertinggi terhadap pergerakan batu bara. Setiap kenaikan harga batu bara sebesar US$5/ton pada 2024 akan meningkatkan estimasi laba bersih kami untuk ITMG sebanyak +12%, dibandingkan +9% ADRO dan +7% PTBA. 

Deskripsi: Perubahan harga indeks batu bara Newcastle, ADRO, ITMG, dan PTBA pada siklus kenaikan batu bara.
Sumber: Investing.com, Analisis Stockbit

Posisi Keuangan yang Jauh Lebih Kuat Berimbas Positif pada Aspek Dividen dan Valuasi

Setelah menikmati supercycle komoditas pada 2022–2023, neraca keuangan para emiten batu bara menjadi jauh lebih kuat dibandingkan periode pra-pandemi. ADRO, ITMG, dan PTBA memiliki net cash yang melimpah. Berikut posisi net cash per 1Q24:

  • ADRO: US$1,8 miliar atau Rp28,6 T

  • ITMG: US$868 juta atau Rp13,8 T

  • PTBA: US$231 juta atau Rp3,7 T

Kuatnya neraca keuangan ketiganya kami prediksi akan berlanjut ke depan seiring dengan ekspektasi kinerja laba bersih yang masih solid dan tergolong tinggi secara historis.

Deskripsi: Net cash ADRO, ITMG, dan PTBA (asumsi kurs Rp15.900/US$).
Sumber: Stockbit

Kuatnya neraca keuangan ini memiliki implikasi yang positif terhadap dua aspek, yakni dividen dan valuasi.

Dividend Yield hingga Double Digit dari Kepastian Dividend Payout yang Tinggi

Kami menilai potensi dividen yang ditawarkan oleh ADRO, ITMG, dan PTBA masih menarik untuk beberapa tahun ke depan. Kami melihat ketiga emiten tersebut dapat menawarkan dividend yield sekitar 10–15% dari tahun buku 2024 dan 2025

Kami juga memiliki keyakinan yang tinggi bahwa dividend payout ratio saat ini (tahun buku 2023) dapat dipertahankan dalam beberapa tahun mendatang. Posisi net cash yang melimpah memberikan kenyamanan bahwa jika terdapat kebutuhan ekspansi di masa depan, aspek dividen tidak akan terkompensasi secara signifikan. 

Bagi investor yang mengutamakan dividen, kami menilai PTBA sebagai emiten yang paling menarik, di mana kami mengestimasikan PTBA dapat menawarkan dividend yield sebesar 14,6% untuk tahun buku 2024 dan 2025. Hal ini didasarkan oleh ekspektasi dividend payout yang tinggi dalam beberapa tahun ke depan karena PTBA belum memiliki rencana ekspansi yang signifikan dalam waktu dekat. 

Selain itu, status PTBA sebagai BUMN juga menjadi faktor penting bagi aspek dividen, menurut kami:

  • Kami menilai tren transisi dan diversifikasi beberapa produsen batu bara ke bisnis nikel tidak terlalu urgen bagi PTBA karena pemerintah telah memiliki entitas yang fokus pada bisnis nikel, yakni INCO. Keduanya pun tergabung dalam holding pertambangan, yakni MIND ID, sehingga kami memprediksi bahwa ekspansi nikel lebih akan diarahkan dan difokuskan kepada INCO.

  • Sebagai salah satu BUMN yang profitable, menurut kami PTBA akan terus diharapkan untuk membagikan dividen yang besar sebagai salah satu sumber pendapatan negara, terutama dengan arah pemerintah yang ingin meningkatkan belanja. Pembagian dividen yang besar juga terlihat pada bank-bank BUMN, seperti BMRI, BBRI dan BBNI.

Deskripsi: Estimasi dividend payout ratio dan dividend yield dari ADRO, ITMG, dan PTBA pada 2024F–2025F (asumsi kurs Rp15.900/US$).
Sumber: Stockbit

Valuasi Sangat Murah Jika Memperhitungkan Net Cash

Per 19 Juli 2024, ketiga emiten diperdagangkan pada 5–6x 1-Year Forward P/E, di antara mean dan -1 Standar Deviasi di bawah mean historis sejak 2019. 

  • ADRO: 5,8x (mean: 6,3x)

  • ITMG: 5,5x (mean: 5,9x)

  • PTBA: 6,3x (mean: 6,5x)

Namun, menggunakan estimasi laba bersih dari kami yang lebih tinggi dan memperhitungkan net cash yang melimpah, implied valuasi ketiganya menjadi jauh lebih rendah, yakni:

  • ADRO: 3,6x

  • ITMG: 2,6x

  • PTBA: 4,7x

Deskripsi: Perhitungan adjusted P/E ADRO, ITMG dan PBTA. Net cash menggunakan data per 1Q24, sementara net profit menggunakan rata-rata estimasi 2024F–2025F dari Stockbit (asumsi kurs Rp15.900/US$).
Sumber: Stockbit

Harga Wajar

Dengan valuasi yang rendah tersebut, kami menilai ADRO dan ITMG masih undervalued. Untuk mendapatkan indikasi harga wajar (fair value), investor bisa saja menggunakan mean valuation historisnya dalam 5 tahun terakhir, yakni di level ~6x P/E. Namun, kami menilai valuasi sebesar 5x P/E – yang lebih rendah dibandingkan mean historis 5 tahun – sebagai level yang lebih wajar, dengan pertimbangan 2 faktor krusial:

  • Valuasi dalam 5 tahun terakhir sedikit terangkat (inflated) oleh level valuasi yang sangat tinggi (outliers) pada periode jelang akhir 2020. Sedangkan, penggunaan data historis selama 10 tahun kurang relevan karena sektor ini masih cenderung memiliki valuasi yang tinggi pada 10 tahun yang lalu.

  • Penurunan valuasi wajar ke depan seiring semakin berkurangnya relevansi batu bara meskipun tren ini terjadi dengan laju yang lebih lambat dibandingkan perkiraan sebelumnya.

Menggunakan valuasi 5x P/E dan memperhitungkan net cash, berikut adalah harga wajar masing-masing, menurut kami:

Deskripsi: Perhitungan upside harga saham ADRO, ITMG, dan PTBA. Net cash menggunakan data per 1Q24, sementara net profit menggunakan rata-rata estimasi 2024F–2025F dari Stockbit (asumsi kurs Rp15.900/US$).                                            Sumber: Stockbit

Dengan upside yang terbatas, kami menilai PTBA relatif fully valued.

Deskripsi: 1-Year Forward P/E ADRO (konsensus).
Sumber: Bloomberg
Deskripsi: 1-Year Forward P/E ITMG (konsensus).
Sumber: Bloomberg
Deskripsi: 1-Year Forward P/E PTBA (konsensus).
Sumber: Bloomberg

Risiko

Beberapa risiko utama bagi saham batu bara adalah: 

  • Harga batu bara yang lebih rendah – Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah pada market utama batu bara dapat menyebabkan penurunan yang lebih cepat pada harga batu bara. Hal ini akan menyebabkan penurunan pada harga jual rata-rata (ASP) emiten batu bara, sehingga berpotensi menghasilkan margin dan laba bersih lebih rendah dari perkiraan.

  • Transisi menuju energi terbarukan yang lebih cepat – Transisi penggunaan energi fosil ke energi terbarukan yang lebih cepat berpotensi mengurangi permintaan akan energi fosil (batu bara serta minyak dan gas) dan membuat harga batu bara lebih rendah.

  • Kenaikan tarif royalti – Pada 3 Juli 2024, pemerintah mengumumkan tengah melakukan kajian ulang terhadap pungutan royalti bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Belum terdapat informasi detail terkait revisi tersebut. Namun, jika pemerintah ternyata memutuskan untuk meningkatkan tarif royalti tersebut, produsen batu bara dengan izin IUPK (BUMI, ADRO, dan INDY) berpotensi membukukan peningkatan beban royalti.


Penulis: 

Edi Chandren, Investment Analyst Lead

Hendriko Gani, Investment Analyst

Editor:

Vivi Handoyo Lie, Head of Investment Research

Rahmanto Tyas Raharja, Investment Analyst Lead

Aulia Rahman Nugraha, Sr. Investment Journalist

Copyright 2024 Stockbit, all rights reserved.

Disclaimer: 

Semua konten dalam artikel ini dibuat untuk tujuan informasional dan bukan merupakan rekomendasi untuk membeli/menjual saham tertentu. Always do your own research

Informasi ini dimiliki oleh PT Stockbit Sekuritas Digital (β€œStockbit”), Perusahaan efek yang berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Selanjutnya, semua keputusan investasi nasabah mengandung risiko dan adanya kemungkinan kerugian atas investasi tersebut. Seluruh risiko investasi bukan merupakan tanggung jawab Stockbit melainkan menjadi tanggung jawab masing-masing nasabah.

Domain resmi Stockbit adalah β€œhttps://stockbit.com/” dan semua informasi yang dikirimkan oleh kami akan menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit dan/atau alamat email yang diakhiri β€œ@Stockbit.com” Semua pemberian Informasi Rahasia kepada pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit namun tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit merupakan tanggung jawab pribadi pihak pemilik Informasi Rahasia dan kami tidak bertanggung jawab atas setiap penyalahgunaan Informasi Rahasia yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit yang tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit.

πŸ”„ Sektor Energi Turun, IHSG Alami Rotasi Sektoral? by Edi Chandren

Bagi investor dan trader yang sudah lama berkecimpung di pasar modal, fenomena rotasi sektoral (sectoral rotation) bukanlah suatu hal yang asing. Fenomena ini terjadi ketika dana berpindah (fund flow) dari suatu sektor ke sektor lainnya di dalam suatu market. 

Rotasi sektoral biasanya disebabkan oleh perubahan sentimen – baik itu optimisme ataupun pesimisme – dari para investor terhadap outlook suatu sektor di masa depan, biasanya dalam 6–12 bulan ke depan. Jika outlook suatu sektor dinilai kurang menjanjikan ke depannya, ia akan mulai ditinggalkan dan digantikan dengan sektor lain yang dirasa memiliki outlook yang lebih baik. 

Salah satu contoh fenomena rotasi sektoral yang cukup familiar bagi para investor adalah rotasi dari sektor growth ke sektor yang lebih defensive ketika kondisi market sedang tidak kondusif. Penyebabnya bisa bermacam-macam, seperti perlambatan pertumbuhan ekonomi, meningkatnya tensi geopolitik, atau goncangan pada pasar akibat kasus suatu perusahaan besar. Pada periode-periode menantang seperti itu, investor akan menghindari sektor-sektor yang dianggap memiliki risiko tinggi dan β€˜memarkir’ dana mereka ke sektor yang lebih β€˜aman’ dan stabil, seiring pergeseran prioritas dari capital gain menjadi capital protection.


Rotasi Sektoral: dari Energi ke Konsumer

Saat ini, kami melihat sedang terjadi sector rotation di IHSG, di mana investor dan trader mulai beralih dari sektor komoditas energi ke sektor konsumer dan properti. Peralihan ini terjadi karena alasan fundamental dan non-fundamental, atau kombinasi keduanya. 

Perpindahan sektoral tersebut tercermin dari tren kontras pergerakan sektor-sektor ini dari sekitar satu bulan yang lalu. Secara spesifik, pada 18 April–19 Mei 2023, sektor komoditas energi yang diwakili oleh indeks IDXENERGY mencatatkan penurunan harga sebesar -12,4%, sementara sektor konsumer yang diwakili oleh indeks IDXNONCYC dan IDXCYCLIC masing-masing naik +4,2% dan +4,7%. Pada periode yang sama, sektor properti – yang diwakili oleh indeks IDXPROP – juga mencatatkan kenaikan sebesar +5,8%. Ketiga indeks ini (IDXNONCYC, IDXCYLIC, IDXPROP) merupakan 3 indeks dengan kenaikan tertinggi selama 18 April–19 Mei 2023.

Pergerakan harga yang berlawanan ini bisa dikatakan yang pertama kali terjadi sejak awal 2023, di mana korelasi antara sektor-sektor ini dan juga IHSG secara keseluruhan cukup positif.

Pic: Grafik kinerja indeks sektor energi, konsumer, properti dan IHSG satu tahun terakhir.
Sumber: Stockbit

Secara singkat, sektor komoditas energi dianggap memiliki outlook yang kurang baik, dipengaruhi oleh tren penurunan harga komoditas energi, yang berimbas pada penurunan harga saham di dalam sektor tersebut. Apalagi, komoditas energi adalah sektor yang mencatatkan kinerja harga yang tertinggi pada tahun lalu, sehingga menciptakan tekanan jual (selling pressure) tambahan di market. 

Sebaliknya, sektor konsumer justru diuntungkan dengan pelemahan harga komoditas, seiring dengan menurunnya inflasi dan meningkatnya daya beli masyarakat. Oleh karena itu, sektor konsumer dianggap memiliki outlook yang lebih baik kedepannya setelah 6–12 bulan ke belakang yang menantang, sehingga bisa memberikan kesempatan return yang baik. Mari kita bahas satu per satu.


Sektor Energi Mulai Padam

Secara fundamental, profitabilitas perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam sektor komoditas energi masih dalam kondisi yang solid, tercermin dari pencapaian pada 1Q23 yang baik. Namun, perlu diingat bahwa pergerakan saham-saham komoditas lebih dipengaruhi oleh tren pergerakan harga komoditas itu sendiri (underlying), sehingga ketika harga acuan komoditas mulai menunjukkan pelemahan, harga saham-saham perusahaan di sektor tersebut terimbas secara negatif. 

Sejak 2Q22, harga komoditas energi global mulai menunjukkan penurunan. Harga minyak telah turun -40% dari level tertingginya di 120 dolar AS per barel pada Juni 2022 menjadi 72 dolar AS per barel per 20 Mei 2023. Sementara itu, harga batu bara juga telah turun -63% dari level tertingginya di 440 dolar AS per ton pada September 2022 ke level 162 dolar AS per ton per 20 Mei 2023. 

Penurunan harga yang cukup signifikan pada 2 komoditas tersebut salah satunya disebabkan oleh pesimisme permintaan dari China – importir minyak dan batu bara terbesar di dunia – akibat lambatnya pemulihan di negara tersebut pasca-pelonggaran pembatasan mobilitas. Penurunan harga minyak dan batu bara berpotensi akan tercermin pada kinerja emiten-emiten di 2 sektor ini pada kuartal mendatang. Ke depannya, tren penurunan harga komoditas ini bisa saja berbalik arah apabila terdapat perbaikan yang signifikan dari sisi permintaan atau pengurangan dari sisi supply

Pic: Grafik pergerakan harga minyak dunia (WTI).
Sumber: TradingView
Pic: Grafik pergerakan harga acuan batu bara Newcastle Coal Futures.
Sumber: Stockbit

Selain harga komoditas yang melemah, perlu diingat juga bahwa sektor komoditas energi adalah sektor yang memiliki kinerja kenaikan harga yang tertinggi alias paling menguntungkan untuk investor pada tahun lalu. Selama 2022, indeks IDXENERGY mencatatkan kenaikan harga sebanyak +100%, jauh di atas IHSG dan sektor-sektor lainnya. 

Kenaikan yang signifikan tersebut berpotensi meningkatkan tekanan jual (supply) bagi saham-saham di sektor ini, karena investor dan trader yang ingin merealisasikan keuntungannya khawatir bahwa keuntungan tersebut dapat berubah menjadi kerugian apabila harga saham terus menurun. Sementara itu, tren pelemahan harga komoditas akan membatasi permintaan baru (new demand) terhadap saham-saham di sektor ini. 

Pic: Grafik kinerja harga sektoral selama 2022.
Sumber: IDX

Kebangkitan Sektor Konsumer

Setahun terakhir merupakan periode yang menantang bagi sektor konsumer. Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 225 bps sejak Agustus 2022 untuk meredakan inflasi yang tinggi. Meski inflasi mulai melandai, namun efek inflasi yang tinggi sebelumnya secara umum tetap memberikan tekanan pada daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah.

Di sisi lain, outlook sektor konsumer tampak lebih cerah dalam 6–12 bulan ke depan. Selain harga bahan baku yang sudah lebih bersahabat, pembelanjaan konsumsi berpotensi mengalami peningkatan

Optimisme tersebut tercermin dari asumsi dan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh berbagai lembaga. Dalam KEM PPKF Rancangan APBN 2024, pemerintah memproyeksikan ekonomi akan tumbuh lebih kencang dari level 5,3% pada 2023 ke level 5,3–5,7% pada 2024. Proyeksi ini sejalan dengan prediksi Bank Indonesia, ADB dan OECD. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi ini akan didorong oleh konsumsi pribadi (private consumption) yang diprediksi tumbuh sebesar 4,4% pada 2023 dan 5,3% pada 2024, menurut OECD.

Optimisme juga terlihat dari indikator Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Pada April 2023, IKK tercatat mengalami peningkatan menjadi 126,1 (vs. Maret 2023: 123,3). Realisasi ini lebih besar dari ekspektasi konsensus yang memperkirakan di level 123, sekaligus menandai level IKK tertinggi sejak Juni 2022. Keyakinan konsumen pada April 2023 didukung oleh meningkatnya Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) dan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE).

Pic: Ekspektasi pertumbuhan GDP Indonesia
Sumber: Lembaga-lembaga terkait

Secara umum, peningkatan pembelanjaan konsumsi akan dilandasi oleh beberapa hal:

  1. Tren inflasi yang menurun

  2. Penyelenggaraan pemilu serentak 2024

  3. Kelanjutan pemulihan pada sektor pariwisata

  4. Kebijakan fiskal yang lebih populis

Peningkatan pembelanjaan konsumsi tampaknya akan lebih terkonsentrasi pada 2H23 dan 1H24, atau di antara periode dimulainya kampanye politik hingga masa tenang sebelum pemilihan.

  • Inflasi yang lebih rendah

Kenaikan suku bunga acuan sebesar 225 bps yang dilakukan oleh Bank Indonesia sejak Agustus 2022 sudah mulai membuahkan hasil. Inflasi tercatat mulai melandai, turun dari level 5,95% YoY pada September 2022 ke level 4,33% YoY pada April 2023.

Secara tahunan, Bank Indonesia memprediksi inflasi akan berada pada level 2–4% pada 2023. Ini mengindikasikan bahwa Bank Indonesia memprediksi tren penurunan inflasi akan berlanjut, bahkan hingga 2024, di mana Bank Indonesia memperkirakan inflasi secara tahunan akan berada pada level 1,5–3,5%. Lagi-lagi, prediksi ini sejalan dengan berbagai proyeksi berbagai lembaga, termasuk pemerintah. Inflasi yang lebih rendah tentunya akan memberikan dampak yang positif terhadap daya beli masyarakat.

Pic: Grafik inflasi bulanan (YoY) dari Januaril 2022–April 2023.
Sumber: BPS (diolah Kompas)
Pic: Ekspektasi inflasi di Indonesia
Sumber: Lembaga-lembaga terkait

  • Pemilu serentak 2024, terbesar sepanjang sejarah

Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum presiden dan legislatif pada 14 Februari 2024, yang kemudian akan disusul oleh pemilihan kepala daerah pada 27 November 2024. Pemilu kali ini berbeda dibandingkan pemilu sebelumnya, di mana pemilihan presiden, legislatif, maupun kepala daerah kali ini dilakukan secara serentak di tahun yang sama. Pada edisi sebelumnya, pemilu kepala daerah terpecah ke dalam beberapa periode (2017 dan 2020), meskipun pemilihan presiden dan legislatif masih dilakukan pada periode yang sama. 

Ini berarti pemilu tahun depan akan menjadi pemilu terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Dengan diselenggarakannya pemilu serentak kali ini, skala aktivitas politik atau kampanye tentunya akan lebih besar dibandingkan edisi-edisi sebelumnya, sehingga dampak terhadap ekonomi juga berpotensi lebih besar

Pic: Tahapan pemilu legislatif dan presiden 2024.
Sumber: KPU

  • Visit Indonesia

Sejak meredanya kasus Covid-19 di tanah air dan dilonggarkannya mobilitas masyarakat, sektor pariwisata – yang merupakan sektor bisnis paling terdampak dari pandemi – mulai berangsur pulih

Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) terus mencatatkan kenaikan dari bulan ke bulan terutama ketika bandara-bandara utama di Indonesia mulai dibuka kembali. Namun, jumlah wisman yang saat ini berada pada kisaran 700–800 ribu per bulan masih lebih rendah dibandingkan dengan level sebelum pandemi. Pada tahun 2019, Indonesia konsisten mencatatkan jumlah wisman di atas 1 juta per bulan. 

Pemulihan ekonomi global berpotensi memberikan dampak positif terhadap sektor pariwisata termasuk di Indonesia, sehingga tren pemulihan jumlah kunjungan wisatawan bisa berlanjut dan menyentuh level pra-pandemi. Sebagai catatan, ADB memprediksikan pertumbuhan ekonomi global akan berada pada 2,6% pada 2023 dan 2,9% pada 2024.

Pic: Grafik perkembangan bulanan jumlah wisman
Sumber: Kemenparekraf
  • Kebijakan fiskal yang cenderung lebih populis


Kami berpendapat bahwa pentingnya kestabilan politik akan menjadi fokus lebih tinggi bagi pemerintah menjelang periode pemilu, karena potensi terjadinya ketidakharmonisan yang berakar dari perbedaan pendapat di masyarakat. Oleh karena itu, menurut kami, pemerintah akan menghindari mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang drastis. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan yang memiliki dampak positif terhadap masyarakat luas akan lebih diprioritaskan karena dapat mendukung kestabilan politik di dalam tanah air.

  • Tren penurunan harga komoditas positif untuk sektor konsumer, mulai terlihat per 1Q23


Berbanding terbalik dengan emiten-emiten di sektor komoditas, penurunan harga komoditas justru memberikan dampak yang positif bagi emiten-emiten di sektor konsumsi. Ini tercermin pada kinerja memuaskan yang dicatatkan oleh beberapa emiten konsumer pada 1Q23. Secara umum, laba emiten-emiten konsumer berhasil tumbuh yang didorong oleh margin yang lebih tinggi, berkah dari penurunan harga bahan baku

Perlu diingat bahwa dampak keseluruhan dari penurunan harga komoditas belum sepenuhnya terefleksi pada kinerja 1Q23, karena perusahaan konsumer umumnya memiliki kebijakan untuk memiliki stok selama beberapa bulan. Oleh karena itu, kinerja emiten konsumer pada kuartal berikutnya berpotensi menunjukkan kelanjutan penguatan


Valuasi

Menurut pandangan kami, rotasi sektoral ini masih tergolong dini, menimbang tren kontras pergerakan harga ini baru berlangsung sekitar 1 bulan. Di sisi lain, perbaikan kinerja sektor konsumsi diperkirakan berlangsung selama 6–12 bulan ke depan

Secara valuasi pun, kami melihat tren pergeseran ini bisa berlanjut. Beberapa saham komoditas energi – dalam hal ini batu bara – seperti $ADRO dan $ITMG masih berada di level yang relatif β€˜tidak murah’ secara historis, walaupun telah mengalami koreksi harga yang cukup signifikan belakangan ini. 

Saat ini, P/E Forward $ADRO yang berada di angka 3.8x masih di atas rata-ratanya dalam 3 tahun terakhir. Begitu juga dengan $ITMG. Selain valuasi yang β€˜tidak murah’ ini, terdapat risiko pemangkasan proyeksi laba oleh konsensus apabila penurunan harga komoditas yang terjadi lebih dalam dibandingkan ekspektasi

Pic: Grafik P/E Band Forward ADRO 3 tahun terakhir
Sumber: Stockbit
Pic: Grafik P/E Band Forward ITMG 3 tahun terakhir.
Sumber: Stockbit

Sebaliknya, valuasi emiten-emiten di sektor konsumer masih tergolong relatif β€˜murah’. Sebagai contoh, valuasi $ICBP dan $ERAA tercatat masih berada pada level di bawah rata-rata historis sehingga memiliki ruang untuk naik ke level yang lebih tinggi, menurut pandangan kami. 

Perlu juga diingat, ketika suatu sektor sedang disukai, valuasinya bisa menuju ke level yang lebih premium dibandingkan level historis. Selain potensi kenaikan valuasi, terdapat potensi peningkatan proyeksi laba oleh konsensus apabila penguatan pembelanjaan konsumsi lebih besar daripada ekspektasi.

Pic: Grafik P/E Band Forward ICBP 3 tahun terakhir
Sumber: Stockbit
Pic: Grafik P/E Band Forward ERAA 3 tahun terakhir
Sumber: Stockbit

Kalau menurut kamu bagaimana? Apakah outlook dan valuasi sektor konsumer membuat kamu tertarik untuk ikutan rotasi sektoral ini? We provide, you decide

________________
Penulis: 

Edi Chandren, Investment Analyst Lead Stockbit

Editor: 

Rahmanto Tyas Raharja, Investment Analyst Lead Stockbit

Calvin Kurniawan, Investment Analyst Lead Stockbit

Aulia Rahman Nugraha, Senior Investment Journalist Stockbit

Copyright 2023 Stockbit, all rights reserved.

Disclaimer: 

Semua konten dalam artikel ini dibuat untuk tujuan informasional dan bukan merupakan rekomendasi untuk membeli/menjual saham tertentu. Always do your own research.

PT Stockbit Sekuritas Digital (β€œStockbit”),  Perusahaan efek yang berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. 

Selanjutnya, semua keputusan investasi nasabah mengandung risiko dan adanya kemungkinan kerugian atas investasi tersebut. Seluruh risiko investasi bukan merupakan tanggung jawab Stockbit melainkan menjadi tanggung jawab masing-masing nasabah.

Domain resmi Stockbit adalah β€œhttps://stockbit.com/” dan semua informasi yang dikirimkan oleh kami akan menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit dan/atau alamat email yang diakhiri β€œ@Stockbit.com” Semua pemberian Informasi Rahasia kepada pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit namun tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit merupakan tanggung jawab pribadi pihak pemilik Informasi Rahasia dan kami tidak bertanggung jawab atas setiap penyalahgunaan Informasi Rahasia yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit yang tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit.