Calvin Kurniawan

๐Ÿ“บ SCMA: Low Valuation with Catalysts Ahead by Calvin Kurniawan

Harga saham Surya Citra Media ($SCMA) โ€“ induk usaha dari SCTV, Indosiar, dan Vidio โ€“ sedang menghadapi tekanan. Per 19 Mei 2023, harga saham SCMA telah turun -32% YTD, -38,7% YoY dan -68,5% dalam 5 tahun terakhir

Penurunan tersebut membuat valuasi saham SCMA saat ini dihargai mendekati level terendahnya dalam 10 tahun terakhir, baik dari segi rasio P/S (Price-to-Sales), Forward P/E (Price-to-Earnings), maupun P/BV (Price-to-Book Value).

Penurunan harga saham SCMA terjadi di tengah tekanan bisnisnya, yang membuat marjin laba bersih (net profit margin/NPM) kuartalan pada 4Q22 (0,7%) dan 1Q23 (0,44%) mencapai level terendah sejak 1Q06

Terdapat 2 penyebab utama yang membuat margin SCMA mengalami penurunan drastis, yaitu: 

  • Peningkatan rugi bisnis over-the-top (OTT) Vidio

Bisnis OTT milik SCMA, Vidio, mencatatkan kerugian sebesar 398 miliar rupiah pada 1Q23, yang menandai kerugian terbesar selama platform video streaming tersebut berdiri. Jumlah tersebut naik dari kerugian sebesar 128 miliar rupiah pada 1Q22 dan kerugian sebesar 296 miliar rupiah pada 4Q22. Di sisi lain, pendapatan Vidio โ€“ yang sempat naik drastis pada 4Q22 akibat Piala Dunia โ€“ telah ternormalisasi pada 1Q23, dengan nilai yang kurang lebih sama dengan pendapatan pada 3Q22.

  • Penurunan margin bisnis TV (free-to-air/FTA) akibat ASO

Selain kerugian bisnis OTT yang meningkat, bisnis TV milik SCMA juga mengalami penurunan margin akibat implementasi analog switch off (ASO) di beberapa kota besar seperti Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah sejak November 2022. Operating profit margin (OPM) segmen tersebut turun dari 34% pada 1Q22 menjadi 24,8% pada 1Q23. Namun angka ini telah memperlihatkan perbaikan jika dibandingkan angka 4Q22 yang hanya mencapai 14,8%.

Meski tengah mengalami tekanan, kinerja SCMA berpotensi mengalami perbaikan ke depannya, mengingat adanya potensi penurunan kerugian Vidio, normalisasi margin bisnis TV pasca-implementasi ASO, kehadiran channel baru Mentari yang masuk ke top 5 audience share di Indonesia, serta potensi imbas positif dari penyelenggaraan pemilihan umum 2024.

Lantas, apakah penurunan bisnis SCMA saat ini akan berlanjut ke depannya? Atau justru tekanan bisnis yang terjadi saat ini hanya bersifat temporer, dan justru bisa dimanfaatkan sebagai kesempatan investasi? 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita ulas terlebih dahulu transformasi yang telah terjadi di bidang media melalui 2 lensa: bisnis digital dan konten, serta bisnis TV.


Transformasi Industri Iklan, Ekspansi Bisnis Baru, dan Prospek Vidio

Tren digitalisasi mengubah industri iklan, yang merupakan sumber penghasilan dari media TV. Menurut laporan Media Partners Asia dalam prospektus Net Visi Media ($NETV), serapan bisnis TV terhadap total belanja iklan (ad spend) diekspektasikan menurun dari 54,8% pada 2020 menjadi 49,6% pada 2025. Penurunan tersebut disebabkan oleh meningkatnya proporsi iklan digital seperti pada search engine, social media, streaming platform dan e-commerce.

Untuk menyikapi perubahan ini, SCMA pun melakukan transformasi bisnis mulai dari akuisisi bisnis streaming digital atau OTT seperti Vidio, hingga bisnis digital lain seperti Kapanlagi. SCMA juga mulai masuk ke bisnis yang relevan dengan peningkatan bisnis digital โ€“ seperti bisnis konten melalui akuisisi Screenplay Films dan Sinemart, serta bisnis manajemen talent dan influencer.

Pic: Segmen bisnis SCMA 
Sumber: Public Expose Presentation SCMA 

Ekspansi SCMA ke bisnis-bisnis baru tersebut dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan industri dan melawan โ€˜innovatorsโ€™ dilemmaโ€™ โ€“ yakni, sikap pemain incumbent yang tidak mau berinovasi karena merasa bahwa bisnis baru tidak menguntungkan dan tidak mengancam bisnisnya di tahap awal, hingga lambat laun terdisrupsi oleh bisnis baru tersebut.

Di sisi lain, transformasi bisnis membuat SCMA mau tidak mau mengorbankan margin dan profitabilitasnya guna mengembangkan bisnis barunya. Bisnis OTT yang ditekuni Vidio, misalnya, memiliki kompetitor perusahaan besar dunia seperti Netflix, Disney (Disney+ Hotstar), Amazon (Prime Video), Tencent (WeTV), Baidu (iQiYi), Warner Bros Discovery (HBO Go), dan PCCW (Viu). Untuk tetap kompetitif, Vidio harus melakukan โ€˜bakar uangโ€™ terlebih dahulu guna membangun content library dan memberikan โ€˜valueโ€™ lebih bagi penggunanya.

Dalam membangun keunggulan kompetitifnya, Vidio mengandalkan โ€˜konten lokalโ€™ melalui Vidio Originals dan konten olahraga melalui lisensi eksklusif berbagai liga dan ajang kejuaraan dunia. Untuk membangun โ€˜konten lokalโ€™ tersebut, SCMA memiliki bisnis konten melalui Screenplay โ€“ rumah produksi yang telah berpengalaman dalam membuat konten sesuai selera penonton Indonesia. Konten yang diproduksi Screenplay pun tidak hanya digunakan untuk Vidio, tetapi juga untuk layar lebar. Contoh konten yang diproduksi Screenplay adalah film Gundala dan Sri Asih, yang diproduksi melalui joint venture bernama Screenplay Bumilangit. 

Screenplay juga menjadi produsen konten bagi OTT lain seperti Netflix (The Night Comes for Us dan The Big 4) dan Disney+ Hotstar (Mendua). Meski demikian, mayoritas konten dari ekosistem SCMA memang dipakai untuk internal dan tidak dijual ke pihak lain. Sebagai contoh, pada 2020โ€“2022, pendapatan segmen bisnis konten yang didapatkan dari pihak eksternal hanya berkisar 17โ€“23%, sedangkan 77โ€“83% sisanya didapatkan dari internal SCMA.

Biaya investasi konten yang tidak kecil ini pun tidak ditanggung sepenuhnya oleh SCMA. Beberapa konten โ€“ khususnya konten olahraga โ€“ biasanya dibiayai secara patungan antara bisnis TV SCMA dan Vidio. Selain itu, Vidio juga mendapat pendanaan eksternal dari perusahaan investasi dan korporasi lainnya. Vidio telah mendapatkan pendanaan senilai 195 juta dolar AS dari investor eksternal seperti Affinity Capital Partners, Bali United ($BOLA), Grab, dan Grup Sinarmas melalui Dian Swastatika Sentosa ($DSSA). Oleh karena itu, kepemilikan SCMA di Vidio turun menjadi 79,37% per 31 Maret 2023. 

Menurut laporan Media Partners Asia dalam Investorโ€™s Release SCMA pada 1Q23, Vidio sudah menjadi platform OTT nomor 1 di Indonesia berdasarkan pengguna aktif bulanan (Monthly Active User/MAU) dan total menit streaming dari 4Q21 hingga 4Q22. Pada 4Q22, Vidio juga menduduki peringkat pertama dalam jumlah total subscriber dan pertumbuhan subscriber. Pencapaian ini didorong oleh konten lokal dan olahraga, di mana Media Partners Asia melaporkan bahwa โ€œkonten lokal yang berkualitasโ€ secara konsisten memainkan peran besar dalam mempengaruhi penambahan subscriber di Indonesia.

Peningkatan skala Vidio menyebabkan perubahan struktur pendapatan SCMA dari tahun ke tahun. Kontribusi pendapatan segmen digital dan OOH (outdoor advertising/out of home) naik dari 6,51% pada 2019 menjadi 21,22% pada 2022. Di sisi lain, peningkatan kontribusi Vidio yang masih merugi juga menyebabkan margin SCMA menurun dalam beberapa waktu terakhir. 

Pic: Pendapatan, Operating Income (dalam jutaan), dan OPM Vidio 
Sumber: Laporan Keuangan SCMA, Stockbit Analysis  

Dengan pengaruh Vidio yang terus meningkat terhadap kinerja SCMA, pertanyaan penting berikutnya adalah: apakah bisnis streaming dapat mencetak untung?

Profitabilitas bisnis streaming 

Secara global, beberapa perusahaan di bisnis streaming sudah mencatat keuntungan, yang mengindikasikan bahwa model bisnisnya dapat bekerja selama scale dan market leadership bisa dicapai. 

Contohnya Netflix, yang mencatat laba bersih secara terus menerus sejak 2003 dengan net profit margin di kisaran 11โ€“17,2% pada 2020โ€“2022. Ada juga IQiYi, pemain asal China yang mencatat operating income positif pertama kali pada 1Q22 dan net income positif pertama kali pada 4Q22. Pencapaian serupa juga dicapai rivalnya, Tencent Video, pada akhir 2022. Selain itu, Viu juga mengungkapkan telah mencapai profitabilitas secara cash flow dan EBITDA positif pada 2022.

Namun, perusahaan streaming lain yang cenderung lebih baru memang masih mengalami kerugian. Beberapa contohnya adalah Disney+, yang menargetkan profitabilitas pada 2024 โ€“ serta HBO Max dan HBO GO, Paramount+, dan lain lain. 

Kapan Vidio bisa mencetak profit?

Dalam earnings call, manajemen SCMA mengatakan bahwa margin dan performa Vidio harusnya akan membaik di kuartal-kuartal berikutnya, mengingat pendapatan Vidio telah meningkat dibanding tahun lalu dan potensi penurunan biaya pada tahun ini. 

SCMA berencana untuk menurunkan output Vidio Original Series dari 30 konten pada 2022 menjadi 20โ€“21 konten pada 2023. Jumlah tersebut hanya setengah dari target awal sebesar 40 konten. Manajemen SCMA mengatakan bahwa mereka ingin lebih fokus ke kualitas dibanding kuantitas, dan akan mendorong seri dengan engagement yang lebih baik. 

Selain itu, lonjakan beban SCMA dalam beberapa kuartal terakhir dipengaruhi oleh biaya lisensi Liga Inggris yang mulai dibukukan pada 2H22. Menurut manajemen SCMA, Vidio menanggung sekitar 85% dari biaya lisensi Liga Inggris. Oleh karena itu, untuk membandingkan pertumbuhan biaya Vidio dalam setahun terakhir, akan lebih sepadan jika membandingkannya mulai dari 2H23.

Manajemen SCMA sendiri menargetkan Vidio untuk breakeven atau mencapai keuntungan tahunan pertama pada 2025. Target tersebut cukup sesuai dengan ekspektasi Executive Director dan Co-Founder Media Partners Asia, Vivek Couto, yang pada Oktober 2022 mengatakan bahwa Vidio bisa untung dalam 2โ€“3 tahun ke depan.

Untuk meraih profitabilitas dalam bisnis subscription, penting bagi Vidio untuk mencapai skala pengguna yang besar dan kesediaan pengguna untuk membayar, yang terefleksi dalam average revenue per user (ARPU). Vidio mengatakan bahwa ARPU perusahaan meningkat karena pelanggan beralih ke paket premium seperti Diamond, yang merupakan paket dengan ARPU tertinggi di mana pelanggan bisa menonton Liga Inggris, konten seri original, dan olahraga lainnya.

Pic: Jenis paket berlangganan Vidio.
Sumber: Website Vidio

Dengan layanan sports dan entertainment yang dimiliki saat ini, Vidio memiliki lingkup layanan yang serupa dengan televisi kabel atau pay TV. Menurut Asia Video Industry Association (AVIA) dalam laporan berjudul โ€˜Indonesia in View 2019โ€™, penetrasi traditional pay TV di Indonesia diperkirakan mencapai 10,5โ€“12,5 juta rumah tangga, dengan sekitar 6,4 juta di antaranya dari pemain nasional.

Apakah dengan lingkup layanan yang serupa, dan harga berlangganan yang lebih murah dari pay TV, OTT seperti Vidio dapat bisa meraih scale pelanggan yang lebih besar?

Bisnis OTT sendiri tidak hanya bertumpu pada subscription. Sebagai contoh, Vidio memiliki model bisnis yang berbeda dengan kompetitor global seperti Netflix atau Disney+ Hotstar. Model bisnis Vidio adalah Advertising Video On Demand (AVOD), di mana pengguna memiliki opsi freemium untuk mengakses sebagian konten secara gratis dengan menonton iklan. Sementara itu, Netflix atau Disney+ Hotstar menggunakan model bisnis Subscription Video On Demand (SVOD), di mana platform-nya tidak menyediakan konten gratis dan mengharuskan pengguna untuk membayar langganan untuk mengakses konten.

Model bisnis AVOD memungkinkan Vidio mendapatkan pendapatan dari iklan dan menjangkau konsumen dari kalangan ekonomi yang lebih luas. Menurut laporan Nielsen, platform SVOD seperti Netflix dan Disney+ Hotstar memiliki profil pelanggan yang didominasi oleh kelas ekonomi atas (60% kelas atas, 37% kelas menengah, 3% kelas bawah). Sementara itu, platform AVOD seperti Vidio memiliki profil pelanggan yang lebih mirip dengan TV (AVOD: 44% kelas atas, 51% kelas menengah, 5% kelas bawah vs. TV: 33% kelas atas, 58% kelas menengah, 9% kelas bawah).

Pengguna aktif Vidio konstan berada di atas 60 juta dari September 2021 hingga Maret 2023, setara lebih dari 20% penduduk Indonesia. Sementara itu, jumlah pelanggan Vidio sempat tumbuh cepat dari 2 juta pada akhir 2021 menjadi 5 juta pada akhir 2022, yang didorong oleh gelaran Piala Dunia. Pada Maret 2023, pelanggan Vidio sempat turun menjadi 3,5 juta dan meningkat menjadi 3,8 juta per 7 Mei 2023.

Pic: Jumlah Subscriber dan Average Monthly Active User Vidio
Sumber: SCMA Investors Release

Transformasi Bisnis TV

Di awal, sudah disebutkan bahwa proporsi iklan di TV mulai berkurang akibat tergerus iklan digital. Tren tersebut diperparah dengan implementasi analog switch off (ASO) pada November 2022, yang membuat pemilik TV tipe tertentu harus memiliki set-top-box (STB) untuk bisa menikmati siaran TV digital dan tidak bisa menggunakan analog lagi.  

Implementasi ASO memberikan dampak bagi pendapatan dan biaya SCMA, antara lain: 

  1. ASO memberikan ketidakpastian lebih terhadap pengiklan, yang berdampak berkurangnya pendapatan dari iklan. Implementasi ASO membuat pengiklan menjadi wait and see karena ketidakpastian data. Sebab, ketika ASO diterapkan di sebuah kota, pembobotan kota tersebut terhadap total audience share bisa berubah dalam perhitungan. Pasalnya, di bulan pertama implementasi ASO, pembobotan audience share suatu kota akan dipangkas 50%, kemudian dipangkas 25% pada bulan kedua, sebelum akhirnya jadi normal pada bulan ketiga. Oleh karena itu, rampungnya implementasi ASO di mayoritas kota besar berpotensi menormalisasi kinerja segmen bisnis TV milik SCMA ke depannya.

  2. Dari segi biaya, SCMA mempersiapkan STB untuk membantu masyarakat bertransisi ke TV digital. Dalam earnings call pada April 2023, manajemen SCMA mengatakan bahwa perseroan berkomitmen untuk menyediakan 1,2 juta STB, tertinggi di industri. SCMA telah mendistribusikan 10% dari target tersebut dan biayanya akan tetap berlanjut sepanjang tahun ini.

Sebelum implementasi ASO, margin bisnis TV sebenarnya sudah mengalami penurunan. Pada 2011โ€“2015, misalnya, bisnis TV milik SCMA mencatatkan OPM sebesar 47โ€“53%. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan 2019โ€“2021 yang mencatatkan OPM sebesar 32โ€“34%.  

Pic: SCMA cost to revenue (overall dan bukan hanya bisnis TV). Pada 2021, laba konten lebih tinggi dari kerugian Vidio, sehingga bisa memperlihatkan kondisi bisnis TV tanpa distorsi kerugian Vidio.

Sumber: Laporan keuangan SCMA

Melalui tabel di atas, dapat dilihat bahwa perbedaan struktur biaya dibandingkan pendapatan SCMA pada 2015 dan 2021 disebabkan oleh peningkatan beban program dan siaran, serta beban usaha. Dapat dikatakan, biaya produksi konten dan biaya operasional mengalami peningkatan yang lebih cepat dibanding pendapatan TV milik SCMA.

Di sisi lain, bisnis TV masih dapat dibilang profitable dengan margin cukup tinggi. TV juga masih merupakan bagian penting dari masyarakat Indonesia karena demografi penontonnya bisa mencapai mass market.

Pic: Klasifikasi ekonomi sosial penonton TV di Indonesia.
Sumber: Public expose MDIA

Berdasarkan survei Nielsen pada 3Q22, 81,1% responden mengatakan masih menonton TV. Rata-rata durasi waktu menonton TV (4.799 menit per bulan) juga masih jauh lebih tinggi dibanding aplikasi video streaming (568 menit per bulan). Nielsen juga menemukan bahwa pengguna TV di Indonesia didominasi orang dewasa, dengan 62% berasal dari orang yang berusia lebih dari 30 tahun. 

Profil penonton TV tersebut memiliki daya nilai karena merupakan pengambil keputusan rumah tangga, menurut Direktur Eksekutif Nielsen Indonesia Hellen Katherina kepada Kompas.

Jangkauan yang besar dan tingginya durasi waktu menonton menjadikan TV sebagai platform yang menarik untuk sektor pengiklan terbesarnya, yakni perusahaan fast moving consumer goods (FMCG) seperti Unilever ($UNVR), Mayora ($MYOR), P&G, Wingsfood, dan Indofood ($INDF). 

Posisi TV yang masih relevan bagi pengiklan juga tercermin dari peningkatan pendapatan bisnis TV milik SCMA yang masih berlanjut sampai sekarang. Sebagai contoh, pendapatan TV SCMA tumbuh dari 4,82 triliun rupiah pada 2018 menjadi 5,78 triliun rupiah pada 2022, yang merupakan level tertinggi dalam sejarah perseroan

Cakupan TV yang tinggi membuat bisnis media sering kali digadang-gadang menjadi penerima manfaat dari gelaran pemilihan umum (pemilu) 2024. Namun, menurut manajemen SCMA pada earnings call 1Q23, pemilu akan berdampak secara tidak langsung bagi perseroan

SCMA sendiri tidak menutup kemungkinan membuat program bersama dengan para kandidat pemilu saat kampanye. Meski demikian, manajemen SCMA mengatakan bahwa pihaknya tidak ingin mengambil iklan politik

Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi masyarakat selama masa kampanye pemilu berpotensi berdampak positif bagi SCMA, mengingat mayoritas pengiklannya merupakan perusahaan FMCG

Di balik peningkatan audience share TV SCMA

Sementara itu, bisnis TV milik SCMA sedang mengalami kenaikan audience share. Secara total, audience share TV milik SCMA naik menjadi 33% pada 1Q23 (vs. 1Q22: 27,3%). Realisasi ini didorong oleh beberapa program yang mencatat performa baik, seperti Cinta Setelah Cinta, Takdir Cinta yang Kupilih, dan Bidadari Surgamu. 

Per 1Q23, SCTV (13,9%) dan Indosiar (11,4%) bahkan sudah memiliki audience share yang lebih tinggi dari RCTI (11,4%) โ€“ channel TV milik Media Nusantara Citra ($MNCN) yang dalam beberapa tahun terakhir sering menjadi channel dengan audience share terbesar. Posisi RCTI juga digeser oleh saudaranya, MNC TV (12,9%). 

Berkurangnya audience share RCTI didorong oleh penurunan rating Ikatan Cinta, sementara performa MNC TV ditopang oleh program seperti Entong, Doa Anak Sholeh Upin & Ipin, dan Family 100. 

Selain SCTV dan Indosiar, channel TV digital milik SCMA yang menargetkan kids dan mum โ€“ Mentari โ€“ juga sudah masuk ke dalam 5 besar TV nasional dengan audience share sebesar 7,7% pada 1Q23. Capaian tersebut muncul meski Mentari baru diluncurkan pada November 2022

Menurut manajemen SCMA, biasanya dibutuhkan waktu 1 tahun untuk channel baru untuk bisa menjadi lebih mapan dan mulai mendapat pendapatan yang cukup dari pengiklan, terutama jika jumlah penonton dan audience share-nya stabil. 

Tren peningkatan audience share dari TV milik SCMA berpotensi menjadi growth driver ke depannya, baik secara pendapatan ataupun laba, mengingat tingginya margin bisnis TV.

Pic: Audience share TV
Source: Investorโ€™s Release SCMA 1Q23

Valuasi 

Saat ini, valuasi SCMA dihargai mendekati level terendah dalam 5โ€“10 tahun terakhir, baik itu dari segi rasio P/S, P/BV, maupun Forward P/E. Forward P/E Ratio dari saham SCMA kini berada di level 8,05x, P/S Ratio (TTM) di 1,46x dan P/BV Ratio di 1,37x.  

Pada harga saham SCMA saat ini di Rp 141, valuasinya mengimplikasikan 5,6x laba operasional (EV/EBIT) atau 6,38x laba bersih (P/E) bisnis TV-nya pada 2022, nol rupiah untuk Vidio, dan nol rupiah untuk bisnis konten.

Padahal, bisnis Vidio dinilai sangat tinggi oleh investor eksternal, dan bisnis konten lain di BEI dihargai dengan sangat premium. 

Sebagai contoh, pada saat pendanaan seri terakhir dengan investor eksternal, valuasi Vidio mencapai 943,4 juta dolar AS. Angka ini mengacu informasi laporan tahunan $DSSA yang mendapat kepemilikan sebesar 2,65% setelah berinvestasi 25 juta dolar AS pada 2022.

Dengan asumsi nilai kurs di 15.000 rupiah per dolar AS, nilai kepemilikan SCMA yang mencapai 79,37% di Vidio setara dengan 11,23 triliun. Nilai tersebut lebih tinggi dari enterprise value (9,25 triliun) dan market cap saham SCMA (10,43 triliun) per 19 Mei 2023. 

Selain itu, bisnis konten SCMA โ€“ yang didalamnya terdapat Screenplay Films โ€“ memiliki pendapatan lebih dari 3x lipat pendapatan MD Pictures ($FILM). Meski begitu, FILM memiliki market cap sebesar 17,12 triliun per 19 Mei 2023, lebih besar dari market cap SCMA

Memang, valuasi Vidio yang diberikan oleh investor eksternal sebesar 11,23 triliun rupiah tidak bisa dibilang โ€˜murahโ€™. Nilai tersebut mengimplikasikan P/S Ratio sebesar 10,4x pendapatan Vidio pada 1Q23 TTM. Valuasi FILM sebesar 39,3x P/S dan 112,5x P/E 1Q23 TTM juga tidak bisa dibilang murah. Namun, bisa saja potensi IPO Vidio ataupun bisnis konten di masa depan bisa saja meng-unlock value tersebut. 

Menurut kamu, dengan potensi dan tantangan yang dimiliki SCMA, apakah harga sahamnya undervalued? We provide, you decide.

________________

Penulis: 

Calvin Kurniawan, Investment Analyst Lead Stockbit

Editor: 

Edi Chandren, Investment Analyst Lead Stockbit
Rahmanto Tyas Raharja, Investment Analyst Lead Stockbit
Aulia Rahman Nugraha, Senior Investment Journalist Stockbit

Copyright 2023 Stockbit, all rights reserved.

Disclaimer

Semua konten dalam artikel ini dibuat untuk tujuan informasional dan bukan merupakan rekomendasi untuk membeli/menjual saham tertentu. Always do your own research.

PT Stockbit Sekuritas Digital (โ€œStockbitโ€),  Perusahaan efek yang berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. 

Selanjutnya, semua keputusan investasi nasabah mengandung risiko dan adanya kemungkinan kerugian atas investasi tersebut. Seluruh risiko investasi bukan merupakan tanggung jawab Stockbit melainkan menjadi tanggung jawab masing-masing nasabah.

Domain resmi Stockbit adalah โ€œhttps://stockbit.com/โ€ dan semua informasi yang dikirimkan oleh kami akan menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit dan/atau alamat email yang diakhiri โ€œ@Stockbit.comโ€ Semua pemberian Informasi Rahasia kepada pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit namun tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit merupakan tanggung jawab pribadi pihak pemilik Informasi Rahasia dan kami tidak bertanggung jawab atas setiap penyalahgunaan Informasi Rahasia yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit yang tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit.

๐Ÿ•Š๏ธ BIRD: Recovery dan Income Stream Baru di Tengah Risiko Beban Royalti by Calvin Kurniawan

Performa Blue Bird ($BIRD) mulai pulih pasca-pandemi. Pada 1Q23, laba bersih naik 161% YoY menjadi 123 miliar rupiah, laba bersih kuartalan tertinggi sejak 3Q18, didorong peningkatan pendapatan sebesar 55,2% YoY.

Sebelumnya, selama 2022, pendapatan BIRD juga naik +62% YoY menjadi 3,59 triliun rupiah (vs. 2021: 2,22 triliun rupiah), didorong oleh kenaikan segmen taksi (+71,9% YoY) dan juga non-taksi (+32,8% YoY). Tidak hanya itu, laba bersih bahkan naik hampir 50x lipat menjadi 358,4 miliar rupiah (vs. 2021: 7,7 miliar rupiah).

Segmen taksi reguler โ€“ yang berkontribusi sekitar 70% dari total pendapatan BIRD โ€“ mengalami peningkatan mobilitas pada 2022. Hal ini ditandai dengan jumlah kendaraan yang beroperasi pada 4Q22 yang lebih tinggi +28,8% dibandingkan 2021, serta pendapatan per kendaraan harian atau average revenue per vehicle (ARPV) pada 4Q22 meningkat +50,2% dari 2021

Source: BIRD 


Dengan peningkatan yang sudah begitu masif, apakah ini berarti pertumbuhan kedepannya akan kehabisan โ€˜bahan bakarโ€™? 

Ada beberapa hal yang berpotensi memengaruhi pertumbuhan BIRD ke depannya 

  1. Pemulihan menuju pendapatan pra-pandemi didorong peningkatan jumlah armada 

  2. Pendapatan dari income stream baru: iklan 

  3. Kenaikan tarif yang berhasil meng-offset kenaikan harga BBM 

  4. Margin yang meningkat di atas level pra-pandemi, dan bayangan beban royalti

Yuk kita bahas satu per satu!

1. Pemulihan menuju pendapatan pra-pandemi, didorong peningkatan jumlah armada 

Walaupun sudah mengalami pemulihan secara masif, pendapatan BIRD pada 2022 masih 11,3% lebih rendah dibandingkan level pendapatan pada 2019 atau ketika pra-pandemi. Padahal, manajemen BIRD mengatakan kepada tim Stockbit bahwa utilisasi kendaraan pada 4Q22 sudah tergolong cukup ideal, yaitu di level 85%.

Realisasi tersebut disebabkan oleh jumlah armada BIRD yang beroperasi pada 2022 belum sebanyak ketika pra-pandemi. Selama pandemi, jumlah kendaraan taksi BIRD turun dari 21.516 pada 2019 menjadi 14.519 pada 2021, sedangkan jumlah kendaraan non-taksi turun dari 6.992 ke 5.498 pada periode yang sama. Meskipun BIRD kemudian melakukan penambahan armada pada 2022, jumlahnya belum sesuai target (sekitar 80% dari target capex yang terserap) akibat kelangkaan chip yang juga mendisrupsi suplai kendaraan.

Kondisi ini berpotensi berubah pada 2023, di mana BIRD berencana menambah total kendaraan sebanyak 3.000 unit. Apabila menghitung jumlah kendaraan lama yang akan diremajakan, total jumlah armada BIRD bahkan akan bertambah sebanyak 6.000 unit pada 2023. Untuk menambah jumlah armadanya, BIRD menyiapkan capex sekitar 1,5โ€“1,9 triliun rupiah pada 2023.

Dengan tambahan armada tersebut, manajemen BIRD menargetkan segmen taksi (Blue Bird dan Silver Bird) dan non-taksi (Golden Bird, Citi Trans, Big Bird, dll) akan mengalami kenaikan pendapatan masing-masing sebesar 20โ€“30% pada 2023. 

2. Pendapatan dari income stream baru: iklan 

BIRD juga tengah mengimplementasikan sebuah inisiatif baru, yakni penempatan iklan di atas taksi yang dimilikinya. Saat ini, pilot project bisnis periklanan ini dilaksanakan oleh 400 taksi BIRD. 

Menurut manajemen BIRD, bisnis iklan dapat meningkatkan ARPV taksi sekitar 10-15%. Dengan asumsi ARPV taksi BIRD mencapai 700.000 rupiah per hari, maka pendapatan tambahan per taksi yang melaksanakan proyek ini mencapai 2โ€“2,5 juta rupiah per bulan. 

Bisnis periklanan ini dijalankan dalam bentuk partnership dengan pihak ketiga yang memang bergerak di bidang advertising. Sehingga, nilai investasi atau capex untuk pilot project bisnis iklan ini akan ditanggung oleh pihak ketiga tersebut.

Selain itu, pendapatan dari bisnis iklan ini tidak akan dikonsolidasikan ke dalam akun pendapatan di income statement BIRD, melainkan di akun other income

3. Kenaikan tarif yang berhasil pass-on kenaikan harga BBM

Pemerintah menaikkan harga Pertalite sebesar +30,7% pada awal September 2022. Untuk menyikapi kenaikan ini, BIRD langsung melakukan penyesuaian tarif pada bulan tersebut.

Untuk wilayah Jabodetabek โ€“ yang berkontribusi sekitar 80% dari bisnis taksi BIRD โ€“ breakdown kenaikan tarifnya adalah sebagai berikut:

  • Blue Bird Regular

Tarif per km: dari 4.600 rupiah menjadi 5.000 rupiah (+8,7%)

Tarif buka pintu: dari 6.500 rupiah menjadi 7.000 rupiah (+7,7%)

  • Silver Bird

Tarif per km: dari 9.000 rupiah menjadi 9.800 rupiah (+8,9%)

Tarif buka pintu: tetap 17.000 rupiah (+0%)

Secara historis, beban BBM memiliki proporsi sekitar 20% dari total pendapatan BIRD, dengan mayoritas bahan bakar yang digunakan adalah Pertalite. Kenaikan harga Pertalite sebesar +30,7% memberikan dampak bagi kenaikan beban bahan bakar BIRD sekitar 6,1% dari pendapatan. Sehingga, kenaikan tarif taksi BIRD sekitar 8% dapat menutupi kenaikan beban bahan bakar tersebut.

Hal ini pun terlihat pada gross profit margin (GPM) BIRD yang meningkat menjadi 31% pada 4Q22 dan 31,2% pada 1Q23 (vs. 3Q22: 30,9%). Ini merupakan level GPM kuartalan tertinggi bagi BIRD sejak 1Q15

4. Margin meningkat di atas level pra-pandemi, tetapi dibayangi oleh beban royalti

Net profit margin (NPM) BIRD berada di level 10% pada 2022 dan 11,8% pada 1Q23. Capaian ini melampaui level pra-pandemi pada 2019 yang hanya 7,8%. Manajemen BIRD pun mengatakan kepada tim Stockbit bahwa mereka menargetkan margin tetap stabil di level yang sama pada 2023

Namun, ada kemungkinan bahwa margin dapat mengalami penurunan mulai dari 2024. Sebab, BIRD akan mulai membayar royalti ke pemegang saham pengendali sebesar 2% dari pendapatan neto per November 2023. Pemberlakuan pembayaran royalti ini sudah tertera di prospektus BIRD saat IPO pada 2014. 

Efek dari royalti ini baru akan sepenuhnya terasa pada 2024. Royalti ini pun berpotensi cukup berdampak bagi laba bersih BIRD, mengingat NPM BIRD berada di level 10-12%. Jika ada tambahan 2% di struktur biaya BIRD โ€“ dengan asumsi pendapatan dan NPM tetap stabil โ€“ laba bersih BIRD bisa turun 16,7%-20%

Apakah inisiatif BIRD mulai dari penambahan armada, transformasi digital, revenue stream baru via iklan, sampai optimasi rute bisa meningkatkan performa BIRD dan meng-offset peningkatan beban royalti? 

Tentunya, selain mobilitas masyarakat, lanskap industri mobilitas Indonesia juga akan turut mempengaruhi performa BIRD ke depannya. Mulai dari penurunan insentif dan kenaikan tarif perusahaan ride-hailing di tengah usahanya menuju profitabilitas, pemberlakuan dan regulasi electronic road pricing (ERP), ada atau tidaknya pemain baru di industri taksi, sampai dengan infrastruktur transportasi umum.


Bagaimana valuasi BIRD saat ini?

Per 27 April 2023, BIRD dihargai pasar dengan P/E 10,3x (TTM) dan 9,1x (annualized), serta EV/EBIT (TTM) 8,7x. Sedangkan P/BV BIRD masih berada di bawah mean P/BV standard deviation 5 tahun, dan berada jauh di bawah level pra-pandemi.

Setelah pandemi, BIRD berhasil meningkatkan performanya dengan sangat cepat, dengan profitabilitas perusahaan secara Return on Equity (ROE) berada di level 8,09%

Dengan potensi pertumbuhan, kualitas bisnis, efisiensi, dan tantangan bisnis BIRD, apakah menurut anda harga sahamnya undervalued? We provide, you decide.

(Tulisan di-update pada 27 April 2023 setelah laporan keuangan 1Q23 keluar)

________________

Penulis: 

Calvin Kurniawan, Investment Analyst Lead Stockbit

Editor: 

Aulia Rahman Nugraha, Senior Investment Journalist Stockbit

Copyright 2023 Stockbit, all rights reserved.

Disclaimer

Semua konten dalam artikel ini dibuat untuk tujuan informasional dan bukan merupakan rekomendasi untuk membeli/menjual saham tertentu. Always do your own research.

PT Stockbit Sekuritas Digital (โ€œStockbitโ€),  Perusahaan efek yang berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. 

Selanjutnya, semua keputusan investasi nasabah mengandung risiko dan adanya kemungkinan kerugian atas investasi tersebut. Seluruh risiko investasi bukan merupakan tanggung jawab Stockbit melainkan menjadi tanggung jawab masing-masing nasabah.

Domain resmi Stockbit adalah โ€œhttps://stockbit.com/โ€ dan semua informasi yang dikirimkan oleh kami akan menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit dan/atau alamat email yang diakhiri โ€œ@Stockbit.comโ€ Semua pemberian Informasi Rahasia kepada pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit namun tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit merupakan tanggung jawab pribadi pihak pemilik Informasi Rahasia dan kami tidak bertanggung jawab atas setiap penyalahgunaan Informasi Rahasia yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit yang tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit.

๐Ÿ‘ถ Tantangan dan Prospek di Balik Valuasi Murah Saham UCID by Calvin Kurniawan

๐Ÿ‘‹ Stockbitor!

Unicharm Indonesia ($UCID) adalah market leader di industri popok bayi (MamyPoko dan Fitti), pembalut wanita (Charm), dan popok dewasa (Lifree dan Certainty) dengan market share di masing-masing kategori sekitar 40%

UCID adalah hasil dari kolaborasi antara perusahaan asal Jepang, Unicharm, dan Grup Sinar Mas. Saat ini, UCID merupakan pemain terbesar dalam โ€˜Big 3 Companiesโ€™ di industrinya, yang juga meliputi PT Softex Indonesia (Softex, Sweety, Happy Nappy, dan Confidence) dan PT Kao Indonesia (Laurier dan Merries). 

Uniknya, meski menjadi pemain terbesar, valuasi UCID jauh lebih rendah daripada PT Softex Indonesia. Sebagai contoh, PT Softex Indonesia diakuisisi oleh Kimberly Clark dengan harga 1,2 miliar dolar AS atau sekitar 17โ€“18 triliun rupiah pada 2020

Nilai akuisisi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan market cap UCID per 16 Maret 2023 yang hanya mencapai 4,66 triliun rupiah. Padahal, net cash yang dimiliki UCID pada FY22 mencapai 1,37 triliun rupiah atau 29,4% dari market cap-nya. Jika kita menghitung efek net cash tersebut, enterprise value UCID hanya berada di level 3,28 triliun rupiah

Padahal, pendapatan UCID terus mengalami pertumbuhan. Pada periode 5 tahun sampai dengan FY22, pendapatan UCID tumbuh dengan CAGR +7,2% per tahun. Pada 2022 sendiri, pendapatan UCID meningkat +13,2% YoY.

Selain itu, menurut manajemen UCID saat diwawancara Stockbit, segmen yang memiliki margin yang lebih tebal โ€“ yakni pembalut wanita dan popok dewasa โ€“ juga tumbuh lebih cepat dibanding segmen popok bayi. Dengan demikian, margin mix UCID pun bisa semakin baik.

Source: UCID

Tidak hanya itu, performa UCID ke depannya juga bisa didorong beberapa hal berikut: 

  1. Ekspansi ke segmen baru. Pada 2022, UCID melalui peluncuran produk pet care dengan merek โ€˜Deo Toiletโ€™, โ€˜Deo Sheetโ€™ serta pet food dengan merek โ€˜Deli-Joyโ€™. 

  2. Peningkatan kapasitas produksi dan distribusi. UCID juga berencana untuk melakukan pembelian mesin, mengingat utilization rate sudah mencapai sekitar 90%. Tidak lupa, warehouse juga ditambah untuk memperluas cakupan distribusi. 


Terus kok bisa UCID dihargai dengan valuasi segitu? 

Valuasi UCID yang lebih murah dari peers-nya juga merupakan efek dari pelemahan harga saham perseroan sebesar -21,7% dalam setahun terakhir. Tren penurunan harga saham ini menyusul beberapa tantangan yang sedang dihadapi oleh UCID, seperti penurunan margin akibat peningkatan harga komoditas, penurunan market share, dan belum masifnya premiumisasi produk segmen bayi di Indonesia. 

1. Penurunan margin 

Kenaikan harga komoditas pulp dan minyak โ€“ yang digunakan untuk polimer atau bahan penyerap di produk popok dan pembalut โ€“ menyebabkan penurunan margin UCID selama 2022.

Source: Trading Economics

Alhasil, UCID pun menaikkan rata-rata harga produk sebesar +5% pada 2022. Namun, sepertinya kenaikan harga ini belum cukup untuk menutupi kenaikan beban akibat kenaikan harga komoditas. Hal ini terlihat dari kenaikan beban HPP (+16,1% YoY) yang meningkat lebih besar dari pertumbuhan pendapatan (+13,2% YoY), sehingga gross profit margin turun dari 20,4% menjadi 18,3% pada 2022. Kondisi ini menyebabkan laba operasional UCID tertekan -20,8% YoY, meskipun peningkatan beban operasional masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pendapatan.

*dalam jutaan rupiah
Source: UCID 

Sensitivitas yang tinggi ini berasal dari margin laba UCID yang termasuk cukup tipis. Net profit margin (NPM) yang pada 2021 berada di level 5,2%, turun menjadi 3,1% pada 2022. Alhasil, laba bersih turun -34,7% YoY. 

Dengan kinerja UCID yang sangat sensitif dengan margin, kenaikan beban akibat lonjakan harga komoditas dapat menekan laba perseroan secara signifikan. Di sisi lain, jika harga komoditas menurun atau UCID dapat melakukan efisiensi, margin dan laba bersih perseroan berpotensi meningkat signifikan ke depannya.

2. Penurunan market share segmen popok 

Selain kenaikan beban, UCID juga mengalami tantangan kompetisi, yang ditunjukkan dengan penurunan market share di segmen popok bayi dan popok dewasa. Pada 2018, UCID memiliki market share sebesar 49,8% untuk popok bayi dan 46% untuk popok dewasa. Pada 4Q22, market share-nya turun menjadi 43% untuk popok bayi dan 40% pada popok dewasa.

Meski demikian, market share di segmen pembalut wanita naik dari 42,1% pada 2018 menjadi 46% pada 4Q22.

3. Premiumisasi 

Dalam tiga tahun terakhir, pendapatan sektor non-diaper UCID โ€“ yang didominasi oleh segmen pembalut wanita โ€“ meningkat sebesar +29%. Realisasi tersebut lebih tinggi dari segmen diaper yang pertumbuhannya hanya +19%.

Menurut manajemen UCID kepada tim Stockbit, pertumbuhan segmen pembalut wanita didorong oleh proses premiumisasi dalam beberapa tahun terakhir. Sementara itu, premiumisasi di segmen popok bayi belum muncul secara masif di Indonesia. 

Tentunya, proses premiumisasi membutuhkan kooperasi dari seluruh pemain di industri agar bisa terjadi secara sukses. Dengan beralihnya kepemilikan PT Softex Indonesia dari private equity CVC Capital Partners ke Kimberly Clark, apakah premiumisasi popok bayi akan menjadi lebih masif di Indonesia? I guess weโ€™ll see


Bagaimana valuasi UCID dibandingkan peers-nya?  

Di awal tulisan, sudah disebutkan bahwa valuasi UCID jauh di bawah harga akuisisi PT Softex Indonesia oleh Kimberly Clark. Namun, fakta tersebut tidak secara otomatis mengimplikasikan bahwa valuasi UCID itu murah, karena masih terdapat kemungkinan bahwa akuisisi PT Softex Indonesia dilakukan dengan valuasi yang premium.

Nah, karena tidak ada pemain serupa UCID yang menjadi perusahaan terbuka di Indonesia, kita hanya bisa membandingkan valuasi dan metrik finansial UCID dengan peers-nya secara global.

*Valuasi per 16 Maret 2023
Source: S&P Capital IQ

Melalui tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa UCID tumbuh lebih cepat dan tergolong lebih murah dibandingkan peers sejenisnya di global. Meski demikian, UCID juga merupakan pemain yang secara ROE lebih tidak efisien dibanding pemain lainnya. 

Dengan profil yang dimiliki UCID saat ini, apakah valuasinya telah memberikan margin of safety dan termasuk murah? Atau justru menurut kamu masih terlalu mahal? We provide, you decide.


Penulis: Calvin Kurniawan, Investment Analyst Lead Stockbit

Editor: Aulia Rahman Nugraha, Senior Investment Journalist Stockbit

Copyright 2023 Stockbit, all rights reserved.


Disclaimer: 

Semua konten dalam artikel ini dibuat untuk tujuan informasional dan bukan merupakan rekomendasi untuk membeli/menjual saham tertentu. Always do your own research.

PT Stockbit Sekuritas Digital (โ€œStockbitโ€), Perusahaan efek yang berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Selanjutnya, semua keputusan investasi nasabah mengandung risiko dan adanya kemungkinan kerugian atas investasi tersebut. Seluruh risiko investasi bukan merupakan tanggung jawab Stockbit melainkan menjadi tanggung jawab masing-masing nasabah.

Domain resmi Stockbit adalah โ€œhttps://stockbit.com/โ€ dan semua informasi yang dikirimkan oleh kami akan menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit dan/atau alamat email yang diakhiri โ€œ@Stockbit.comโ€ Semua pemberian Informasi Rahasia kepada pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit namun tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit merupakan tanggung jawab pribadi pihak pemilik Informasi Rahasia dan kami tidak bertanggung jawab atas setiap penyalahgunaan Informasi Rahasia yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit yang tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit.

๐Ÿค” MIDI Stock Split, Right Issue, dan Ekspansi Masif Lawson: Seberapa Besar Dampaknya? by Calvin Kurniawan

๐Ÿ‘‹ Stockbitor!

Pada Desember 2022, pendiri Grup Alfamart Djoko Susanto mengatakan kepada Nikkei Asia bahwa pihaknya berencana membuka paling tidak 500 gerai Lawson per tahun dalam 5 tahun ke depan.

Lawson sendiri dikelola oleh PT Lancar Wiguna Sejahtera, anak usaha Midi Utama Indonesia ($MIDI) yang merupakan bagian dari Grup Alfamart.

Sebelum rencana ekspansi ini pun, MIDI telah mencatatkan pertumbuhan yang cepat. Pendapatan MIDI meningkat +10,1% CAGR (rata-rata per tahun) dalam 5 tahun sampai dengan 1Q23 (TTM). Sedangkan, laba bersihnya bahkan meningkat lebih besar, yaitu +32,4% per tahun.

Dengan mayoritas outlet yang dimiliki MIDI per 1Q23 (total: 2.511) didominasi oleh format Alfamidi (2.135 gerai Alfamidi), apakah berarti dengan rencana penambahan 2.500 outlet Lawson, Lawson akan menjadi tulang punggung performa finansial MIDI kedepannya?

Selain itu, MIDI juga melakukan aksi korporasi lain selama tahun 2023, seperti stock split dan rights issue. Bagaimana kedua aksi korporasi ini dapat mempengaruhi MIDI? Apakah valuasinya murah dibandingkan dengan potensi dan resiko nya?


Jumlah Outlet Lawson Bertumbuh Cepat, Namun Kontribusinya Belum Akan Mendominasi

Direktur Keuangan MIDI, Suantopo Po, menjelaskan kepada tim Stockbit bahwa Lawson belum akan segera menjadi tulang punggung performa finansial MIDI. Manajemen memproyeksikan kontribusi pendapatan Lawson โ€˜hanyaโ€™ naik dari 3% pada 9M22 menjadi 5% pada FY23. Kok bisa?

  • Sales per store Lawson relatif lebih rendah daripada Alfamidi 

Pada FY22, Lawson menyumbang 8,1% dari total toko yang dimiliki MIDI, tetapi kontribusinya hanya 3,2% dari total pendapatan MIDI, mengindikasikan bahwa pendapatan per outlet Lawson lebih kecil dari Alfamidi.

Memang, perbedaan yang cukup signifikan antara kontribusi terhadap outlet dan kontribusi terhadap pendapatan juga dikarenakan banyaknya gerai Lawson yang baru beroperasi, sehingga mayoritas outlet belum mendapat pendapatan penuh secara satu tahun. Hal ini karena outlet Lawson tumbuh sangat cepat dalam setahun terakhir. Dari 65 outlet pada 2021, jumlah nya bertumbuh menjadi 192 outlet pada FY22 dan 323 outlet pada 1Q23, sesuai dengan rencana ekspansi manajemen.

Namun, sebelum ekspansi masif ini terjadi pun, sales per store Lawson memang lebih kecil dari Alfamidi. Hal ini sesuai jika kita membandingkan ukuran toko kedua merek tersebut. Alfamidi, yang memiliki format dengan ukuran di antara minimarket dan supermarket, memiliki gerai yang lebih luas dari Lawson. Sehingga, cukup wajar jika pendapatan per outlet Lawson lebih rendah dari Alfamidi. Capex per store Lawson juga lebih kecil. Menurut manajemen, capex per store Lawson sekitar 1โ€“2 miliar rupiah, sedangkan Alfamidi mencapai 2โ€“3 miliar rupiah.

  • 50% dari jumlah toko baru Lawson bukan toko yang berdiri sendiri, melainkan di dalam Alfamidi 

Menurut manajemen, 50% dari 500 toko baru Lawson yang akan dibuka pada 2023 memiliki format store in-store. Melalui format ini, Lawson akan berada di dalam Alfamidi dengan ukuran gerai 2,5 m x 3 m. 

Format ini membuat capex per store dari Lawson store in-store menjadi sekitar 500 juta rupiah, lebih rendah dibandingkan gerai standalone. Konsekuensinya, pendapatan Lawson store in-store akan lebih kecil dibandingkan Lawson standalone. Menurut manajemen, Lawson dengan format store in-store akan memiliki pendapatan toko per hari sekitar 3 juta rupiah (vs. Alfamidi: 17โ€“20 juta rupiah, Alfamidi Super: 50 juta rupiah).

Meski demikian, manajemen berpendapat bahwa kolaborasi ini bisa meningkatkan store productivity Alfamidi serta menghindari kompetisi antara bagian convenience store Alfamidi dan Lawson. Sekitar 70% dari penjualan gerai standalone Lawson adalah produk ready to eat (seperti oden dan cheese bokki-nya yang viral) serta ready to drink, dua jenis produk yang saat ini juga dijual Lawson di dalam Alfamidi.

Source: Lawson
  • Alfamidi juga masih bertumbuh pesat 
    Secara hipotetis, kontribusi segmen Lawson akan mengalami kenaikan 2x jika pendapatannya naik 2x lipat dan pendapatan MIDI di segmen lain stabil. Namun, peningkatan kontribusi Lawson tidak bisa naik sebanyak kenaikan nilainya, karena MIDI juga masih bertumbuh.

    Pendapatan MIDI sendiri meningkat +10,1% CAGR (rata-rata per tahun) dalam 5 tahun sampai dengan 1Q23 (TTM). Laba bersihnya bahkan meningkat lebih besar, yaitu +32,4% per tahun.

    MIDI pun masih berencana membuka 200 outlet Alfamidi baru pada 2023, dengan mayoritas toko baru di luar Pulau Jawa. Hal ini sesuai dengan tren yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, di mana proporsi jumlah toko yang ada di luar Jawa tumbuh dari 33,3% pada 2018 menjadi 46,9% pada 9M22, seperti yang terlihat pada grafik di bawah ini.

Pic: Breakdown komposisi toko yang dimiliki MIDI secara geografis

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa pendapatan segmen Alfamidi masih bisa bertumbuh selama penjualan per toko stabil atau tidak terlalu berkurang drastis. Secara historis, pendapatan per toko Alfamidi cukup stagnan, yaitu 6,7 miliar rupiah per tahun pada 2021 dan 9M22 LTM, level yang serupa dengan 2016 dan 2017. Angka ini sebelumnya sempat mengalami peningkatan menjadi 6,9โ€“7,5 miliar rupiah per toko pada 2018โ€“2020. 


Jadi, apakah kegunaan dana dari rights issue hanya karena ekspansi Lawson?

Direktur Keuangan MIDI, Suantopo Po, menjelaskan kepada tim Stockbit bahwa rights issue yang ditargetkan menghasilkan dana sekitar 1 triliun rupiah memang juga digunakan untuk ekspansi toko. Namun, ekspansi tersebut tidak hanya untuk Lawson, tapi juga Alfamidi. 

Selain itu, MIDI juga ingin berinvestasi pada 3 fasilitas gudang (warehouse) baru yang masing-masing membutuhkan sekitar 100 miliar rupiah. Sampai awal Februari 2022, ada 11 gudang yang dimiliki atau disewa MIDI di berbagai pulau di Indonesia.


Bagaimana dengan stock split, kenapa dilakukan dan apakah akan ada pengaruh ke harga sahamnya?

Manajemen menargetkan peningkatan likuiditas saham MIDI setelah stock split. Sebelum stock split, turnover (nilai transaksi) saham MIDI per bulan pada November 2021 hingga November 2022 hanya kurang dari 1 miliar rupiah. 

Sebagai perbandingan, turnover bulanan saham induk usaha MIDI, Sumber Alfaria Trijaya (AMRT), memiliki range di antara 231 miliar rupiah hingga 5,43 triliun rupiah pada periode yang sama.

Tentu, angka di atas menunjukan bahwa peningkatan likuiditas adalah sesuatu yang sangat favorable untuk MIDI, agar lebih banyak investor bisa memiliki sahamnya. Toh, kinerja finansial dan performa harga saham MIDI juga bisa tergolong sangat baik secara historis.

Dan benar saja, setelah aksi korporasi tersebut diumumkan pada Januari 2023, turnover bulanan MIDI meningkat lebih dari 100x dari 1,13 miliar rupiah menjadi 139,96 miliar rupiah. Setelah stock split dilaksanakan pada Maret 2023, turnover MIDI juga tetap berada di level yang jauh lebih tinggi dari level 2021-2022.

Namun, apabila melihat dari kasus AMRT, peningkatan likuiditas AMRT tidak serta merta diikuti dengan peningkatan valuasi.

Saat turnover bulanan AMRT kurang dari 2 miliar rupiah pada Februariโ€“Maret 2018, saham perusahaan tersebut hanya memiliki valuasi sebesar 72โ€“82x P/E ratio dan 31โ€“32x EV/EBIT. 

Setelah periode itu, turnover bulanan AMRT selalu berada di level lebih tinggi dan bahkan mencapai level triliunan secara rutin dari Maret 2022 sampai Januari 2023. Namun, valuasi AMRT cenderung tidak pernah melebihi range valuasi tersebut secara berlebihan, dengan EV/EBIT maksimal sampai saat ini hanya di level 36x dan P/E tidak pernah melewati level tersebut.

Secara tahunan, konklusi yang sama juga bisa diraih. Berikut merupakan jumlah turnover saham AMRT selama setahun serta pergerakan valuasinya.

Pic: Perbandingan turnover saham AMRT tahunan dengan valuasinya di tiap tahun. 
Source: Bloomberg

Jadi, peningkatan likuiditas mungkin bukan penyebab utama kenaikan harga saham AMRT. Sama seperti MIDI, yang mendorong harga saham AMRT selama beberapa tahun terakhir ini sepertinya adalah performa keuangannya, yang juga terefleksikan pada peningkatan laba bersih perusahaan.


Bagaimana valuasi MIDI dibandingkan dengan peers sejenis?

Berbeda dengan AMRT, valuasi saham MIDI saat masih kurang likuid jauh lebih reasonable. Bahkan setelah meningkat +32% secara year-to-date (YTD) sampai dengan 25 Mei 2023, valuasi MIDI bisa terlihat lebih murah dari rata-rata peers, namun mencatat pertumbuhan pendapatan dan laba yang lebih cepat dengan efisiensi perusahaan (ROE) yang lebih tinggi.

Pic: Perbandingan valuasi, efisiensi, dan pertumbuhan MIDI dibandingkan peers Asia. 
Source: S&P Capital IQ Performa per 9M22 TTM. Harga saham per 25 Mei 2023.

Tentu, P/E yang sudah mendekati 30x tidak membuat MIDI โ€˜sangat murahโ€™ secara metrik tradisional. Namun, seberapa besarnya P/E yang cocok untuk sebuah perusahaan dipengaruhi banyak hal, mulai dari moat perusahaan, potensi pertumbuhan, efisiensi, sampai besarnya risiko perusahaan. 

Dengan profil yang dimiliki MIDI saat ini, apakah P/E sebesar 29,6x telah memberikan margin of safety dan termasuk murah atau justru masih terlalu mahal? We provide, you decide.


Penulis: Calvin Kurniawan, Investment Analyst Lead Stockbit

Copyright 2023 Stockbit, all rights reserved.


Disclaimer: 

Semua konten dalam artikel ini dibuat untuk tujuan informasi dan bukan merupakan rekomendasi untuk membeli/menjual saham tertentu. Always do your own research. 

PT Stockbit Sekuritas Digital (โ€œStockbitโ€), Perusahaan efek yang berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Selanjutnya, semua keputusan investasi nasabah mengandung risiko dan adanya kemungkinan kerugian atas investasi tersebut. Seluruh risiko investasi bukan merupakan tanggung jawab Stockbit melainkan menjadi tanggung jawab masing-masing nasabah.

Domain resmi Stockbit adalah โ€œhttps://stockbit.com/โ€ dan semua informasi yang dikirimkan oleh kami akan menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit dan/atau alamat email yang diakhiri โ€œ@Stockbit.comโ€ Semua pemberian Informasi Rahasia kepada pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit namun tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit merupakan tanggung jawab pribadi pihak pemilik Informasi Rahasia dan kami tidak bertanggung jawab atas setiap penyalahgunaan Informasi Rahasia yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit yang tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit.