tips investasi saham

Manajemen Risiko-An Essential Tool for Making Profits in The Stock Market by Dedi Utomo

the key.jpg

Manajemen risiko

Dalam berinvestasi saham, kamu harus mempunyai 2 skill penting. Pertama adalah kemampuan untuk memprediksi prospek saham dan yang kedua adalah kemampuan dalam melakukan risk management. Banyak sekali investor maupun trader yang hanya memperhatikan skill forecasting saja, namun melupakan betapa pentingnya mengelola risiko.

Padahal di pasar saham ada hubungan yang kuat antara risiko dan tingkat pengembalian (return). Semakin besar risikonya, semakin besar tingkat pengembaliannya. Secara terminologi manajemen risiko adalah proses mengidentifikasi dan menilai risiko, kemudian mengembangkan strategi untuk mengelola dan meminimalkan untuk memaksimalkan tingkat pengembalian.

Kali ini, Stockbit akan berbagi strategi jitu yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko dalam berinvestasi saham.

Ikuti tren pasar

Ini adalah salah satu metode yang telah terbukti untuk meminimalkan risiko di pasar saham. Melalui chart harga saham, indeks sektoral, maupun IHSG, akan terlihat arah tren pasar, apakah suatu saham, sektor, atau bursa secara keseluruhan sedang dalam tren bullish atau bearish. Jangan sekali-kali melawan arah pasar, jika kamu adalah tipe investor yang menghindari risiko (risk averter), melawan pasar atau dalam artian kamu malah justru membeli saham ketika memasuki fase bearish, potensi untuk menanggung risiko kerugian juga semakin tinggi. Oleh karena itu, ikuti arah tren pasar bergerak, beli di waktu yang tepat maka kamu akan memperoleh return yang maksimum dengan tingkat risiko yang minimum. 

Diversifikasi portofolio

Strategi manajemen risiko lain yang berguna di pasar saham adalah diversifikasi risiko kamu dengan berinvestasi dalam portofolio. Dalam portofolio, kamu melakukan diversifikasi investasi kamu ke beberapa perusahaan, sektor, dan kelas aset. Ada kemungkinan bahwa sementara kondisi pasar dari saham pada sektor tertentu menurun namun di sektor yang lain meningkat.

Di Bursa Efek Indonesia sendiri terdapat 9 Sektor bisnis yang bisa kamu gunakan untuk melakukan diversifikasi saham.

  1. Pertanian

  2. Perdagangan, Jasa dan Investasi

  3. Keuangan

  4. Industri Barang Konsumsi

  5. Properti dan Real Estate

  6. Aneka Industri

  7. Pertambangan

  8. Industri Dasar dan Kimia

  9. Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi

Lakukan screening saham untuk menemukan saham yang memiliki prospek bagus ke depan dengan menggunakan fitur Screener Stockbit.  Fitur Screener disajikan dan didesain secara khusus untuk mempermudah kamu mencari (screening) saham yang terbaik berdasarkan ratusan kriteria. Dapatkan juga preset screener dimana Stockbit menyediakan screener berdasarkan gaya guru investasi seperti Warren Buffet, William O'Neil dan lain-lain yang bisa langsung digunakan. Temukan saham-saham potensial dan buat investasi kamu menjadi lebih menyenangkan.

Stop loss

Stop loss adalah perangkat lain untuk memastikan bahwa kamu tidak akan kehilangan uang lebih banyak lagi jika harga saham turun jauh. Dalam strategi ini, investor memiliki pilihan untuk keluar jika saham tertentu jatuh di bawah batas tertentu yang ditentukan. Disiplin diri adalah pilihan lain yang digunakan oleh beberapa investor untuk menjual saham ketika harganya jatuh di bawah level tertentu atau ketika ada penurunan tajam.

Waspadai Saham yang memperoleh earnings surprises

Terkadang investor pemula bertindak gegabah dan ingin segera membeli saham yang secara tiba-tiba labanya mengalami kenaikan signifikan. Laba naik tiba-tiba nyatanya tidak selalu berarti saham perusahaan tersebut bagus. Kamu perlu untuk meneliti lebih dalam lagi mengenai kondisi internal perusahaan, terutama fakta dibalik kenaikan laba tersebut, karena bisa saja laba tersebut berasal dari penjualan aset perusahaan dan bukan berasal dari sumber pendapatan utama perusahaan. Jika ternyata demikian, maka saham tersebut belum layak untuk dijadikan sebagai portofolio investasi kamu. Sebaliknya, jika ternyata kenaikan laba tersebut berasal dari pendapatan perusahaan yang memang benar-benar naik secara signifikan, karena adanya ekspansi atau penemuan teknologi baru yang membuat proses bisnis menjadi lebih effisien. Maka saham tersebut memang benar-benar bagus untuk portofolio investasi kamu.

Pilih saham yang memiliki konsistensi pertumbuhan laba

Saham yang memiliki konsistensi kenaikan laba biasanya lebih aman untuk investasi jangka panjang dibanding saham perusahaan yang labanya tidak pasti (kadang naik signifikan dan kadang rugi). Karena sebagai investor kamu bisa memperkirakan nilai perusahaan di masa depan. Hal ini secara psikologis akan membuatmu yakin akan prospek perusahaan di masa depan. Saham- saham yang memenuhi kriteria ini biasanya adalah saham yang termasuk dalam kategori saham Blue Chip. Karena memang saham Blue Chip sudah mempunyai reputasi yang bagus di mata investor karena kinerja perusahaan yang bagus ditinjau dari tata kelola, kemampuan untuk menghasilkan laba, inovasi, dan merupakan market leader diantara pesaingnya. Saham-saham seperti ini biasanya akan lebih diperhatikan oleh investor institusi sebagai portofolio investasi, oleh karena itu, potensi kenaikan harganya juga akan lebih tinggi dibanding saham-saham kecil dan juga lebih aman untuk investasi jangka panjang.

Pilih saham yang memiliki beta kecil

Beta suatu saham adalah pengukur tingkat volatilitas pergerakan harga suatu saham terhadap indeks pasar, semakin kecil nilai beta suatu saham, artinya tingkat volatilitas pergerakan harga juga akan lebih rendah. Saham yang memiliki beta kurang dari 1 (<1 ) artinya adalah, jika indeks pasar (IHSG) mengalami kenaikan atau penurunan, maka saham tersebut juga mengalaminya namun tingkat kenaikan atau penurunan harganya lebih kecil dari IHSG. Begitu juga saham dengan beta di atas 1 (>1 ),jika indeks pasar mengalami perubahan baik kenaikan ataupun penurunan maka, saham tersebut juga mengalaminya akan tetapi kenaikan atau penurunan tersebut lebih besar dari IHSG. Sehingga suatu saham dikategorikan berisiko jika memiliki beta yang tinggi. Jika kamu merupakan tipe investor yang menghindari risiko (risk averter), maka carilah saham yang memiliki koefisien beta kurang dari 1.    

PE Ratio kecil belum tentu murah

Penilaian harga suatu saham berdasarkan PE Ratio tidaklah bersifat absolut, PE Ratio yang rendah belum tentu murah dan memiliki prospek. Dalam analisa fundamental penggunaan rasio PER, PBV, EV/EBITDA adalah bersifat relatif, penggunaan PER,PBV, dan EV/EBITDA adalah sebagai langkah awal kamu dalam memilih saham, setelah itu barulah kamu meneliti lebih dalam lagi tentang kondisi fundamental keuangan perusahaan untuk mendapatkan hasil analisa yang lebih akurat. Jangan terjebak pada saham yang memiliki PE Ratio rendah namun ternyata kondisi keuangan perusahaan tidak sehat.

Pilih saham dengan kapitalisasi pasar diatas 3 trilliun

Percaya atau tidak, saham dengan kapitalisasi pasar yang besar memiliki risiko yang lebih kecil. Karena saham tersebut memiliki potensi lebih kecil terhadap praktik goreng saham/dimanipulasi pergerakan harganya. Saham yang memiliki kapitalisasi pasar yang tinggi juga lebih berpotensi mengalami kenaikan, karena kapitalisasi pasar menjadi syarat utama bagi beberapa investor institusi. Mengapa demikian? karena likuiditas suatu saham sangatlah penting bagi investor institusi. Ketika membeli saham, investor ini biasanya membeli dalam jumlah yang besar. sehingga ketika suatu saham tidak likuid, maka mereka akan kesulitan dalam menjualnya. Jadi, carilah saham yang memiliki kapitalisasi pasar setidaknya di atas 3 trilliun, jika ingin memperoleh saham yang lebih likuid lagi maka kamu juga bisa mencari saham dengan kapitalisasi pasar >10 trilliun.

Itulah tips dari Stockbit dalam melakukan manajemen risiko investasi saham, semoga membantu dalam memilih saham yang sesuai dengan kriteria investasi teman-teman Stockbitor

(Analisa Fundamental Saham) 3 Rasio Untuk Memilih Saham Yang Sedang Murah by Dedi Utomo

memilih.jpg

(Analisa Fundamental) Rasio yang umum digunakan untuk mengetahui apakah suatu saham sedang diperdagangkan pada harga yang murah atau mahal  adalah PE, PBV dan EV/EBITDA. Kali ini Stockbit akan membagikan tips untuk memilih saham yang murah dengan menggunakan 3 rasio tersebut.

PE (Price to Earning Ratio)

PE ratio adalah suatu rasio dalam analisis fundamental yang menggambarkan seberapa besar investor menilai/menghargai suatu saham dilihat dari segi laba bersih per sahamnya (EPS).

Untuk mengukur apakah suatu saham murah atau mahal maka perlu membandingkannya dengan perusahaan yang berada pada industri yang sama. PE suatu saham yang kecil dibanding industrinya menandakan bahwa saham tersebut masih diperdagangkan pada harga yang murah (Undervalue).

Screenshot_48.png

Dengan menggunakan fitur Fundachart Stockbit, kamu bisa membandingkan PE suatu saham dengan PE perusahaan sejenisnya. Dari contoh di atas terlihat bahwa saham PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT) (garis biru) saat ini diperdagangkan pada PE yang paling kecil di antara pesaingnya. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa saham WSKT adalah yang paling murah diantara saham konstruksi BUMN lainnya.  

Screenshot_49.png

Penilaian murah tidaknya suatu saham juga bisa menggunakan PE standard Deviation Band, di mana ketika suatu saham memiliki PE di area -2 Standar Deviation (garis merah) menunjukkan bahwa saham tersebut masih murah (Undervalue), sebaliknya, ketika suatu saham memiliki PE di area +2 Standard Deviation (garis biru) menunjukkan bahwa saham tersebut sudah mahal (Overvalue).

Namun perlu diperhatikan, bahwa penilaian ini adalah bersifat relatif, artinya suatu saham dengan PE rendah belum tentu bagus untuk investasi kamu sebaliknya saham dengan PE tinggi juga tidak serta merta dianggap sudah mahal, kamu perlu untuk membaca laporan keuangan dan mempertimbangkan rasio-rasio keuangan yang lainnya, sehingga hasil analisa kamu akan lebih mendalam. di bagian selanjutnya, Stockbit akan membahas mengenai rasio yang cukup bagus untuk menilai harga saham.

PBV (Price to Book Value)

Nilai Buku atau Book Value memberikan perkiraan nilai suatu perusahaan apabila diharuskan untuk dilikuidasi. Nilai Buku ini adalah nilai aset perusahaan yang tercantum dalam laporan keuangan atau Balance Sheet dan dihitung dengan cara mengurangkan kewajiban perusahaan dari asetnya (Nilai Buku = Aktiva – Kewajiban). Dengan kata lain, Rasio Price to Book Value ini dapat menunjukan apa yang  akan didapatkan oleh pemegang saham setelah perusahaan membayar semua hutangnya.

Rasio PBV yang rendah merupakan tanda yang baik bagi perusahaan. Cara untuk mencari perusahaan terbaik dengan menggunakan rasio PBV adalah dengan membandingkan perusahaan dalam industri yang sama. Melalui aplikasi Stockbit komparasi PBV dapat kamu lakukan menggunakan fitur Comparison.

Screenshot_50.png

Dari gambar di atas, dapat diketahui bahwa saham BBTN (garis biru) mempunyai rasio PBV tertinggi di antara saham Bank di kelasnya. Sementara PNBN (garis pink) memiliki PBV terendah di antara bank di kelasnya. sehingga dapat dikatakan bahwa PNBN paling murah di antara bank-bank tersebut.

Namun kembali Stockbit ingatkan, bahwa penilaian ini tidaklah bersifat absolut, dalam analisa fundamental penggunaan rasio PER, PBV, EV/EBITDA adalah bersifat relatif, penggunaan PER,PBV, dan EV/EBITDA adalah sebagai langkah awal kamu dalam memilih saham, setelah itu barulah kamu meneliti lebih dalam lagi tentang kondisi fundamental keuangan perusahaan untuk mendapatkan hasil analisa yang lebih akurat.

PBV Standard Deviation Band

Screenshot_61.png

Penilaian murah tidaknya suatu saham juga bisa menggunakan PBV standard Deviation Band, di mana ketika suatu saham memiliki PBV di area -2 Standar Deviation menunjukkan bahwa saham tersebut masih murah (Undervalue), sebaliknya, ketika suatu saham memiliki PBV di area +2 Standard Deviation menunjukkan bahwa saham tersebut sudah mahal (Overvalue)

Dari gambar di atas bisa kamu lihat bahwa saham Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. (BTPN) memiliki PBV di area rata-rata PBV 3 tahunnya, artinya saat ini saham BTPN diperdagangkan pada harga wajarnya. 

EV/EBITDA

Jika kamu sering melihat riset saham, tentu kamu tidak asing dengan rasio EV/EBITDA, rasio ini mirip PE Ratio akan tetapi para analis menilai metode ini lebih canggih dibanding PE Ratio.

EV adalah Enterprise Value dan EBITDA adalah Earning Before Interest, Tax, Depreciation dan Amortisation.

EV dibagi dengan EBITDA akan menghasilkan suatu rasio yg menunjukan apakah suatu saham murah (Undervalue) atau sudah mahal (Overvalue).

Investor strategis umumnya menilai suatu perusahaan murah jika angka EV/EBITDA ini dibawah 6, namun karena penilaian ini bersifat relatif, maka untuk menilai suatu saham perlu untuk membandingkannya dengan perusahaan sejenis.

Apa itu EV atau Enterprise Value?

Enterprise Value adalah angka yg menunjukan besarnya value dari suatu perusahaan atau disebut Firm's Value.

Bedanya EV dan Market Capitalisation:

  1. Market Capitalisation adalah = Jumlah saham x Harga saham

  2. Pada suatu buyout/akuisisi, seorang investor harus membayar sebesar nilai kapitalisasi pasar untuk mendapatkan perusahaan tersebut.

  3. Tapi saat dia mendapatkannya, dia juga mendapatkan debt atau Utang perusahaan yg menjadi Kewajibannya.

  4. Disamping itu , dia juga mendapatkan cash yg menjadi haknya.

Jadi Enterprise value dihitung sebagai Market Capitalisation + Debt - Cash

Contoh : 

Saham INDF memiliki Enterprise Value sebesar 91,716 T

Jadi harga teoritis jika INDF di takeover pada suatu buyout adalah = 91,716 T

Kalau dikonversi ke lembar saham = 91.716/8,78 = Rp 10.446, angka ini lebih tinggi dari harga saham INDF saat ini Rp 7.075 karena debt perusahaan lebih besar dari cash.

Apa itu EBITDA?

EBITDA adalah singkatan dari Earning Before Interest, Tax, Depreciation and
Amortisation.

Jadi EBITDA = Net Profit + Interest + Tax + Depreciattion + Amortisation

Kenapa Depreciation dan amortisation ditambahkan untuk mendapatkan angka EBITDA ini ?
Depreciation adalah Non cash expense (beban perusahaan tetapi tidak dibayarkan dalam bentuk cash)

Kita ambil contoh sebuah perusahaan membeli mesin seharga 500 milliar dan disusutkan selama 5 tahun, mesin tersebut dibayar cash sekaligus pada saat pembelian.
Mesin ini dibukukan sebagai asset pada neraca dan setiap tahun disusutkan pada account akumulasi penyusutan.

Jadi pada akhir tahun ke 1 : Asset = 500 M, akumulasi penyusutan = 100 M, book
value
= 500 -100 = 400 M

Pada akhir tahun ke 2 : Asset tetap 500 M, akumulasi penyusutan = 200 M , book
value
= 500 - 200 = 300 M

Sesudah asset dibeli, tidak ada transaksi cash yg melibatkan penghapusan asset ini selama 5 tahun umur asset ini.

Tapi saat menghitung Operating profit, biaya penghapusan 100 M setahun dianggap sebagai expense dan mengurangi operating profit.

Itulah alasan kenapa analis saham menambahkan depreciation pada Laba Operasi untuk mendapatkan angka EBITDA. 

EBITDA digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan arus kas yang benar-benar dihasilkan dari aktivitas operasi. Penggunaan EBITDA dinilai lebih fair dibandingkan dengan Laba Bersih karena bebas dari distorsi penerapan metode akuntansi terhadap item laba/rugi.

Penggunaan EV/EBITDA
Mengutip dari salah satu tulisan  Stockbitor Bapak JSPutera (@JS76115)
Pada dasarnya, dari setiap investasi yang kita bayarkan (EV), tentu pertanyaan logis berikutnya adalah : hasil seperti apa (EBITDA) yang bisa kita dapatkan.

Tidak ada bedanya dengan saat kamu menanamkan dana dalam bentuk deposito, atau membeli bond. Nilai deposito serta harga bond yang kita bayarkan pengertiannya sama seperti EV pada saat kita melakukan stock-investing. Dan suku bunga deposito atau kupon bunga obligasi tiada lain pengertiannya adalah seperti EBITDA ketika kita melakukan stock-investing.

EV/EBITDA pada dasarnya merupakan inverse (kebalikan) dari angka yield (return). Jadi jika kita membeli sebuah perusahaan dengan EV/EBITDA sebesar 20, maka kita tahu bahwa yield dari perusahaan ini buat kita adalah 5%, atau 1 dibagi 20. Apa arti dari angka 20 ini? Angka 20 ini menunjukan tahun yang kita butuhkan agar yield (EBITDA) itu bisa mengembalikan dana yang kita keluarkan untuk investasi ini (EV). Sama halnya ketika kamu menyimpan dana dalam bentuk deposito, dan mendapatkan bunga sebesar 5%/tahun (yield), maka perlu waktu 20 tahun agar hasil bunga itu bisa sama dengan pokok (EV) deposito yang kamu simpan tersebut.

Saya hanya ingin mengingatkan, bahwa Stock-Screener yang kita lakukan dengan menggunakan EV/EBITDA (maupun kriteria lainnya) harus dipandang sebagai titik awal, untuk mengkaji gambaran perusahaan dengan lebih rinci. Kita tidak bisa serta-merta hanya menggunakan hasil screener ini, dan memakai-nya langsung sebagai pedoman kita berinvestasi.

Stock-screener sangat membantu kita untuk :
1) mendapatkan informasi tentang emiten yang baik.
2) mendapatkan informasi apakah harga sahamnya juga baik.

Seperti kita tahu, hanya ada 3 hal yang kita perlukan untuk bisa berhasil dalam melakukan investasi di pasar modal :
1) membeli perusahaan yang baik.
2) membelinya dengan harga yang baik juga.
3) memberi kesempatan kepada waktu untuk menggandakan investasi kita.

Stock-screener sangat membantu kita at least untuk menerapkan butir 1) dan 2) pedoman investasi di atas. Kedua butir pedoman pertama ini merupakan hal yang relatif mudah kita lakukan. Kita tinggal memasukan sejumlah rasio baku, dan segera kita mendapatkan daftarnya. Apabila kamu sudah bisa melakukan hal ini, maka 60% pekerjaaan sudah kamu lakukan dengan baik. Mendisiplinkan diri di saat yang sama menerapkan pedoman di butir 3) merupakan hal yang tidak mudah.

Mengapa sulit? Konstruksi pembentukan harga yang terjadi di pasar modal, serta derasnya arus informasi yang seakan tidak ada hentinya, membuat tidak mudah menerapkan pedoman di butir ke-3 ini. Namun buat mereka yang bisa secara disiplin menerapkannya, bisa dengan mudah memahami pernyataan bahwa "expanding your time-horison will do wonder to your portfolio performance".

Semoga membantu Stockbitor dalam mengambil keputusan investasi yang tepat. Yuks gabung dengan komunitas saham terbesar di Asia Tenggara dan kamu bisa berdiskusi, analisa, dan berinvestasi saham dari satu aplikasi secara mudah.